Di era globalisasi seperti yang kita rasakan sekarang ini, arus pengaruh budaya asing baik yang bersifat positif maupun negatif secara deras telah masuk ke seluruh penjuru tanah air baik melalui media elektronik maupun media sosial yang dari hari ke hari semakin canggih. Di setiap media elektronik dan media sosial, budaya asing secara terus menerus berupaya mempengaruhi, menggeser bahkan menggantikan posisi budaya lokal. Segala informasi dari manapun datangnya dengan bebas tanpa adanya filter yang berarti secara cepat diterima oleh semua lapisan dan tingkatan masyarakat.
Budaya adalah suatu kebiasaan atau adat istiadat yang dimiliki oleh suatu negara atau daerah sehingga mempunyai ciri khas tersendiri. Sedangkan kebudayaan menurut Drs. Atang Abd. Hakim, MA dan Dr. Jaih Mubarok dalam buku Metodologi Studi Islam (1999:28) yang mengutif pendapat S. Takdir Alisyahbana (1986:207-8) adalah suatu keseluruhan yang kompleks yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda-beda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat, dan segala kecakapan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat; warisan sosial atau tradisi; cara, aturan, dan jalan hidup manusia; penyesuaian manusia terhadap alam sekitarnya dan cara-cara menyelesaikan persoalan; hasil perbuatan atau kecerdasan manusia; hasil pergaulan atau perkumpulan manusia.
Kondisi masyarakat kita sekarang sudah kurang dan tidak peduli lagi terhadap seni dan budaya sendiri. Bahkan seni dan budaya asing yang belum tentu cocok dengan kepribadian bangsa dianggap lebih baik dibanding seni dan budaya sendiri.
Melalui media sosial, bangsa asing berusaha mengubah tatanan kehidupan dan moralitas bangsa Indonesia. Media informasi digunakan sebagai alat propaganda untuk menghancurkan tatanan kehidupan bangsa melalui cuci otak, menghancurkan kekuatan jiwa suatu masyarakat dengan mengacaukan proses berpikir dan stabilitas emosinya.
Sasaran propaganda bangsa asing dalam mempengaruhi moralitas bangsa adalah seluruh sendi-sendi kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, baik dari aspek Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Pertahanan dan Keamanan bahkan Agama (IPOLEKSOSBUDHANKAM & Agama).
Apabila kondisi semacam itu kita biarkan terus berlanjut tanpa adanya upaya isolasi filter dari semua pihak terhadap pengaruh negatif budaya asing, maka seperti yang kita rasakan sekarang ini kebudayaan nasional sebagai identitas kepribadian bangsa Indonesia cepat atau lambat akan terkikis habis hingga mencapai puncak kepunahan. Bangsa Indonesia yang sejak dulu memiliki ciri dan menjadi kebanggaan, yaitu terkenal dengan keramahtamahannya, berjiwa gotong-royong, kaya akan budayanya, kini semua telah sirna tergeser oleh budaya asing. Kondisi yang ada pada masyarakat Indonesia sekarang ini sudah tidak kondusif, hilangnya kepercayaan diri (ego/mementingkan diri sendiri), saling hujat, di sana sini terjadi tawuran dan tindakan anarkis, kemunafikan, iri dengki, dendam yang berkepanjangan, materialistis, rasa kebangsaan yang semakin lemah, pembunuhan terhadap sesama manusia sehingga hilang makna nilai kehidupan. Dari hari ke hari krisis moral dirasakan semakin meningkat. Dari kondisi seperti itu tanpa disadari, bahwa budaya kita tengah dijajah oleh budaya lain. Kondisi semacam inilah yang menimbulkan segalanya serba kasar, vulgar, bahkan porak porandanya segala peninggalan warisan budaya, yang berjati diri, seraya segala hal dianggap sah-sah saja dan segala cara dianggap halal-halal saja. Benar atau tidak, marilah kita renungkan menurut sudut pandang masing-masing.
Kondisi semacam ini mendera sikap budaya komunitas etnik Sunda yang konon memiliki tradisi budaya yang santun santa budi, tak urung berubah dilanda putaran zaman, seperti kiasan di bawah ini :
Tata krama geus teu dipisuka,
Basa sunda samingkin suda,
Unggah ungguh pada miseunggah,
Karuhun sajati jarauh ditundung,
Karuhun bangsa deungeun di arugung-ugung,
Budaya titinggal karuhun ditaringgalkeun,
Seni tradisi geus teu dipisudi,
Budaya mangandeuh dideudeuh-deudeuh.
Tata krama sudah tidak disenangi
Bahasa sunda kian menghilang
Etika tak digunakan lagi
Leluhur sendiri diusir sampai menjauh
Leluhur bangsa asing dipuja-puja
Budaya warisan leluhur ditinggalkan
Seni tradisi pada membenci
Budaya parasit (asing) yang dicintai
Aplikasi dari berbagai serapan budaya luar bisa dilihat dan dirasakan dalam pola tingkah laku, pola interaksi sosial, berbusana, nama diri atau nama lembaga, berbahasa atau berbicara, adat istiadat. Semuanya merembes masuk sampai ke lubuk jiwa yang paling dalam, jiwa eksotika.
Yang lebih memprihatinkan lagi di era globalisasi sekarang ini adalah nasib kesenian daerah yang keberadaan dan kehidupannya sangat memprihatinkan di kalangan generasi muda. Terhadap kesenian daerah yang sebenarnya jati diri mereka, merupakan sesuatu yang asing karena setiap saat mereka tanpa henti dijejali oleh kesenian-kesenian luar yang sengaja berniat menghancurkan budaya bangsa. Hancurnya ketahanan budaya bangsa berarti pula ambruknya ketahanan nasional.
Salah satu ciri bangsa yang modern adalah suatu bangsa yang selalu mau mengadakan perubahan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan yang selalu mengarah kepada hal yang lebih baik atau perilaku positif. Artinya hidup tidaklah diam, tetapi harus selalu mau menoleh ke belakang dan mau berorientasi ke masa depan. Perilaku budaya yang baik dan buruk di masa lampau, hendaknya jangan di campakan, tetapi harus dijadikan landasan untuk melangkah ke masa depan.
Berdasarkan kajian sejarah, selama manusia memiliki daya fikir yang sehat, selama itu pula nilai-nilai budaya hidup manusia tidak akan henti-hentinya mengalami erosi. Karenanya sesederhana peradaban masyarakat, senantiasa memiliki tata nilai berupa sistem budaya dan sistem sosial yang meliputi pola fikir, norma-norma dan pola tingkah laku.
Melalui sistem ini timbulah kontroversi pemikiran mengenai kebudayaan. Apakah kebudayaan lama perlu dipertahankan, ditinggalkan, disesuaikan atau sama sekali diganti?. Demikian pula menilai kebudayaan baru yang datangnya dari luar, apakah mesti diterima, ditolak atau dibiarkan?. Proses tata nilai semacam inilah selalu menumbuhkan situasi yang tidak menentu, bertarungnya antara nilai lama dan nilai baru.
Situasi semacam ini dialami pula oleh sosok kebudayaan etnik sunda kota, sunda Surade, sunda Ciracap, sunda Ciemas, sunda Jampang, dan sunda-sunda tatar sunda lainnya. Tabrakan nilai budaya lama dan baru yang mengakibatkan bergesernya pula sistem nilai (value system) budaya masyarakat sunda zaman klasik. Berdasarkan telusuran kembali sejarah di seputar tatar sunda pernah tumbuh subur dan berkembang beberapa gagasan dasar yang menjiwai dan menjadi patokan bentuk karakter masyarakatnya.
Suatu rujukan penggalian, pelestarian dan pengelolaan budaya dan sejarah daerah yaitu UUD RI 1945 pasal 32 ayat (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia…”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan kebudayaan nasional Indonesia adalah kebudayaan yang diwujudkan melalui puncak–puncak kebudayaan daerah yang ada di seluruh pelosok tanah air Indonesia, (termasuk budaya Sunda). Dengan demikian apabila kita memajukan kebudayaan daerah berarti memajukan kebudayaan Nasional.
Sebagai Realisasi dari Pasal 32 UUD RI 1945 maka dalam upaya memajukan kebudayaan daerah pemerintah Propinsi Jawa Barat telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 5 tahun 2003 yang telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Tentang Pemeliharaan Bahasa, Sastra dan Aksara Daerah; Peraturan Daerah Nomor 6 tahun 2003 yang diubah menjadi Perda Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pemeliharaan Kesenian Daerah; dan Peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2003 yang diubah menjadi Perda Nomor Nomor 16 Tahun 2014 tentang Tentang Pengelolaan, Kesejarahan, Nilai Tradisional dan Museum. Dengan implementasiannya tertumpu pada pemerintah dan warga masyarakat daerah yang bersangkutan secara bersama-sama. Pada kenyataannya para penentu kebijakan terutama di tingkat daerah masih menganggap kurang penting dengan alasan tidak memberikan kontribusi yang berarti terhadap pembinaan dan pengembangan kebudayaan daerah. Sehingga berbagai Undang-Undang dan Hukum Negara yang begitu mulya rumusannya, sering tidak berkemampuan untuk mengubah praktek-praktek anggota masyarakat yang sifatnya tidak beradab, kejam dan sadis sekalipun.
Kelompok masyarakat etnik/suku Sunda pada zaman dahulu sudah memiliki berbagai peraturan kemasyarakatan yang kala itu lajim disebut purbatisti purbajati atau sanghyang siksa. Di dalamnya terkandung nilai-nilai; nilai pengetahuan, nilai religi, nilai sosial, nilai ekonomi, nilai seni yang ditunjang oleh norma-norma dan aturan-aturan hukum.
Berbagai peraturan dan nilai-nilai tadi tertulis dalam naskah-naskah sunda kuno (lontar), seperti pada lontar kropak 406 'Carita Parahyangan' (CP), kropak 630 'Sanghyang Siksa Kandang Karesian' (SSKK), kropak 632 'Amanat Galunggung' (AG), kropak 404 'Sewaka Darma' (SD), kropak 419 'Jati Niskala' (JN), dan beberapa naskah sunda kuno lainnya seperti 'Kawih Paningkes', 'Serat Tantu Panggelaran', 'Ratu Pakuan', 'Sanghyang Hayu' dan sebagainya. (Anis Djatisunda, 2008:16-19).
Salah satu sampel dari berpuluh-puluh ketentuan dalam naskah kropak 630 (SSKK) yang ditulis pada candrasangkala nora catur sagara wulan = 1440 Saka = 1518 Masehi. Yakni pada zamannya Pajajaran diperintah oleh Sri Baduga Maharaja Siliwangi (1482-1521 M), pada lembar salah satu naskah tersebut terdapat tulisan yang disebut "Sanghyang Dasakreta" (Sepuluh Kesejahteraan). Hal itu bisa tercapai jika sudah mampu menjaga 10 sumber nafsu, yaitu Ceuli (telinga), Mata, Kulit, Letah (lidah), Irung (hidung), sungut (mulut), Leungeun (tangan), Suku (kaki), Payu (lubang dubur, lubang vagina), Baga-Purusa (kemaluan wanita-kemaluan pria).
Diantaranya bagaimana cara menggunakan telinga (ceuli) yang semestinya, diutarakan sebagai berikut :
"Ini byakta : ceuli ulah barang déngé mo ma nu sieup didéngé kenana dora bancana, sangkan urang nemu mala na lunas papa naraka; hengan lamun kapahayu ma sinengguh utama ning pangreungeu".
(inilah kenyataannya : telinga jangan mendengarkan yang tidak layak untuk didengar karena menjadi pintu bencana, penyebab kita mendapat celaka di dasar kenistaan neraka, namun kalau telinga terpelihara, kita akan mendapat keutamaan dari pendengaran).
Demikian pula 9 sumber nafsu lainnya, ditandaskan pula bagaimana cara menggunakannya yang semestinya. Dalam hal ini urusan ceuli (telinga) teringat kepada tradisi masyarakat sunda bahwa pada saat bayi lahir ke dunia, maka suka dibisikan ke telinga bayi lafad-lafad Al-Qur'an, begitu juga tradisi "Ma Beurang" (dukun beranak) pada saat setelah memandikan bayi, suka berbisik ke telinga bayi, yang isinya sama dengan contoh tadi : "Kadé ceuli ulah sok sadéngé-déngéna mun lain déngékeunana, leungeun ulah sok sacokot-cokotna lamun lain cokoteunana" dan seterusnya.
Sebenarnya bayi tidak akan mengerti apa yang dibisikan Ma Beurang. Namun, tradisi masyarakat sunda untuk memberi bimbingan moral bagi keturunannya dilakukan sejak bayi lahir. Bisikan Ma Beurang juga diperuntukkan bagi orang yang hadir disaat proses kelahiran yang tujuannya sebagai pengingatan agar tetap tertanam dalam jiwanya selaras dengan ajaran sanghyang dasakreta yang digariskan leluhurnya.
Di luar ketentuan Sanghyang Dasakreta, terdapat pula ketentuan dalam mencari kebenaran yang hakiki. Dengan tujuan agar dalam mengarungi kehidupan masyarakat bermasyarakat senantiasa tidak salah sasaran, sebagaimana seloka sebagai berikut :
"Tadaga carita hangsa, gajendra carita banem,
matsyanem carita sagarem, puspanem carita bangbarem"
(Telaga dikisahkan angsa, gajah mengisahkan hutan,
ikan menceritakan lautan, bunga-bungaan dikisahkan kumbang)
Seloka tadi memberikan petunjuk bahwa setiap langkah jangan sampai salah tempat bertanya. Sebab segala sesuatu sudah ada ahlinya masing-masing. Demikian pula dalam penempatan seseorang, mesti pada bidangnya sesuai dengan kemampuannya masing-masing. Bila tidak demikian akan timbul over lapping dan tak akan membuahkan hasil yang maksimal dan memuaskan.
Sebagai contoh tentang bagaimana fungsi seorang guru pada zaman sunda klasik. Digambarkan sebagai berikut :
"Guru ma pananyaan na urang réya, nya mana dingaranan
guru ing janma. sang moha sageusna aya
bwana, hala hayu goreng rampés ala guru"
(Guru itu tempat bertanya orang banyak, makanya
dinamai guru manusia dalam kekusutan setelahnya ada
dunia, salah benar buruk baik tergantung kepada guru).
Contoh-contoh kearifan tadi memberikan tanda, bahwa masyarakat sunda kuno telah demikian mapan dalam menata institusi budaya hidup kemasyarakatannya. Jika masyarakat sunda masa kini mampu mengadopsi 'warisan budaya' karuhunnya, tak ayal masyarakat sunda akan tetap dalam kondisi :
Cageur, bageur, bener, pinter,
runtut rukun sauyunan,
cukup sandang cukup pangan wedel papan
ayem tengtrem sepi tingtrim
paripurna santosa kerta raharja
nyaah ka diri, ngabdi ka Gusti, cinta ka lemah cai.
Sehat, berkelakuan baik, benar, pintar
Rukun damai seia sekata
Cukup sandang pangan, rumah kokoh
Tenang tentram sepi senyap
Paripurna sentosa subur makmur
Sayang diri, bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Cinta tanah air
Sehingga terhindar dari penetrasi budaya asing yang telah memporak porandakan kearifan-kearifan budaya kita dengan timbulnya 'benturan peradaban'. Tanpa sadar, bangsa Indonesi sedang tergilas oleh kondisi 'penduniaan' yang sebenarnya "penjajahan terselubung". Hal inilah yang patut jadi renungan melalui rentang benang kearifan-kearifan warisan leluhur.
Sejalan dengan konteks kearifan lokal tadi, warga masyarakat Surade dan sekitarnya, yang dalam fungsinya sebagai penyangga dan penopang Kabupaten Sukabumi sebagai "Kawasan Andalan Budaya Daerah" di Jawa Barat, seyogyanya kearifan-kearifan tradisi lokal masyarakatnya pun bisa dipertahankan. Salah satunya kearifan berbahasa sunda. Surade dan sekitarnya memiliki bahasa sunda lokal, yang tergolong kepada bahasa dialek, bahasa sederhana dan bahasa patois 'bahasa berlogat khusus'. Diantaranya terdapat kata-kata : wéya, bedus, deuleu ituh, eujeuh euy, dan sebagainya, juga intonasi dialog (lagu bicara) khas, yakni ada legato pada suara akhir. Demikian pula hasil karya yang khas seperti berupa makanan ; gurandil, opak, gula kelapa, dan sebagainya; sistem berkesenian seperti kuda lumping, tutunggulan (gundreh), celempung, wayang, réog, rengkong, kendang penca, kacapian dan sebagainya.
Sejarah dan kearifan-kearifan lokal serta tradisi budaya leluhur secara etnosentris (kesukuan), berlatar monologisme budaya (termasuk budaya masyarakat Surade). Salah satu prediksi solusi tumbuh kembalinya budaya pribadi bangsa kita melalui motto "Ka hareup ngala sajeujeuh, ka tukang ngala saléngkah, ka kamari pulang anting, isukan mindeng anjangan, ulah poho tempa tempo ka pagéto". Bahwa dalam melihat masa depan kita harus berpatokan kepada adat istiadat para leluhur, membangun sekarang dan masa depan harus berpatokan kepada masa lalu. Di sini berarti jangan melupakan sejarah. Masa kini tak akan ada kalau tidak ada masa lalu. Jadikan adat istiadat masa lalu sebagai cermin untuk melangkah hidup masa sekarang dan masa yang akan datang.
Dari beberapa pernyataan yang diuraikan di atas, kiranya cukup jelas bahwa nilai tradisional merupakan ekpresi budaya daerah yang mengandung nilai-nilai luhur yang memperhalus akal budi manusia. Sehingga menjadi lebih arif dan bijaksana. Karena itu pemeliharaan dan pengembangan kebudayaan daerah sangat penting dalam mewujudkan pembangunan manusia yang berakhlak mulia dan sangat berarti bagi pembangunan bangsa yang kokoh, bersatu, beriman dan bertakwa serta berbudi pekerti luhur.
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !