Sejarah memberikan sumbangan bagi manusia kini dan masa depan dalam membentuk status seseorang, dalam arti inilah maka kesejarahan itu sangat penting artinya dalam pembentukan identitas baik sebagai pribadi atau sebagai kolektivitas. Jika kita memiliki kesadaran untuk mengetahui diri kita, maka dengan sejarah dihadirkan akan membantu bahkan membawa kita pada realita hidup yang lebih menunjukan identitas.
Kalau kita berdialog dengan peristiwa, tentu dengan saksi-saksi yang dapat dikumpulkan yang terjadi hari ini-masa lampau, sebenarnya tidak untuk kepentingan manusia masa lampau itu. Manusia masa lampau tidak lagi akan berubah, yang berubah adalah interpretasi terhadapnya, yang melakukan interpretasi itu manusia yang menulis rangkaian peristiwa itu. Sejarah memberikan sumbangan bagi manusia kini dan masa depan dalam membentuk status seseorang, dalam arti inilah maka kesejarahan itu sangat penting artinya dalam pembentukan identitas baik sebagai pribadi atau pun sebagai kolektivitas”. Jika kita memiliki kesadaran untuk mengetahui diri kita, sejarah akan hadir ditengah-tengah kita, kehadirannya secara apa adanya.
Keberadaan dan atau kehadiran masyarakat Surade tidak datang dengan sendirinya tanpa latar belakang. Latar belakang yang berbeda mendasari kehidupan masyarakat namun perbedaan tersebut menjadikannya sebagai dasar persatuan yang kuat.
Masyarakat Surade merupakan kelompok suku Sunda yang memiliki sistem budaya pribadi sendiri dalam memandang institusi budaya hidupnya, tidak terlepas dari benang merah masa lalu, yakni “Sejarah Surade”.
Surade adalah suatu tempat yang kini telah menjadi ibu kota kecamatan dan termasuk wilayah pemerintahan di Kabupaten Sukabumi. Letaknya di pesisir pantai Samudra Indonesia (± 112 Km) dari pusat kota Sukabumi ke arah Selatan.
“Surade” berasal dari kata “SURA – RAH – HADIAN” yang artinya Darah Manusia Pemberani, berani mengeluarkan darah demi kesucian, demi perdamaian, demi persaudaraan. Kata Sura Rah Hadian merupakan ucapan Rd. Suranangga bersamaan dengan pelepasan nama gelar bangsawan pada nama diri dan keluarga serta keturunannya. Sebagai pertanda berdirinya sebuah kampung maka ditanam batu indung lembur dan pelaksanaan upacara nyebor. Hal ini terjadi pada tanggal 2 bulan Syuro tahun Wawu (kalender Jawa), atau tanggal 2 Muharam 1179 H atau pada kalamangsa ”Taya Tangan Pangawasa Wisesa” bertepatan dengan hari Anggara, tanggal 20 wulan Kapat Purnimanta (Krisnapaksa) sama dengan tanggal 4 wulan Kalima Amanta (Suklapaksa), candrasangkala Nora Hasta Sad Rahayu = 1680 tahun Saka (kalender Sunda). Bertepatan dengan hari Selasa, tanggal 5 Desember 1758 Masehi (perhitungan/terjemahan Anis Djatisunda).
Cerita ini terungkap dengan ditemukan sebuah kampung tempat persinggahan bangsawan Imbanagara Rd. Mas Surabujangga ketika pengejaran terjadi atasnya oleh Mataram dan kompeni Belanda sampai wafatnya. Tempat ini pula yang menjadi saksi atas peristiwa sangat tragis yaitu terjadinya perselisihan antar saudara sebangsanya sehingga memakan korban yang tidak sedikit dari keduanya. Tempat ini yang menjadi bukti adanya Surade yaitu kampung Sindanglaya. (Sindang=Bahasa Sunda artinya singgah, laya= meninggal).
Tabir asal-usul yang berkaitan dengan kisah atau cerita rakyat Surade ini dapat ditunjang oleh tulisan sebuah buku kuno (buku Hideung) simpanan Ki Aja bin H. Maksudi A, yang beralamat di Kampung Cileutak-Cilutung Desa Jagamukti Kecamatan Surade, (sekarang termasuk ke Desa Gunungsungging), dan terakhir beliau berada di Kp. Jagamukti Desa Jagamukti Kecamatan Surade. Namun sayang sekali, buku hideung tersebut dibawa transmigrasi ke Kalimantan oleh ahli warisnya. Namun demikian, pada tahun 1975, buku tersebut pernah di baca dan di teliti oleh ahli sejarah dan bahkan pernah di pinjam dan di sadur sebagian isinya oleh Narasumber yaitu Ki Kamaludin.
Buku Hideung merupakan bagian bukti sejarah adanya Surade. Karena isi dari buku tersebut salah satunya mengisyaratkan adanya kekuatan pangeran sejati yang memiliki kesaktian serta disemangati oleh darah perjuangan dan selalu diliputi rasa kasih sayang, pejuang lahir dari Imbanagara dan pergi ke kesejatian sejati.
Adapun bunyi dari tulisan yang terdapat dalam buku Hideung tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
Darah unggul tidak seberapa keluar, (karena pertanda)
kekuatan pangeran sejati, terceceri semua darah unggul….masuk….,
kepada yang penuh (dengan) kesaktian….bur….Titip.
Kan sudah jelas Keberanian…darah bangsawan, kerabat Jagabaya,
anak terlahir dari Imbanagara, yang keluar bepergian ke kesejatian sejati,
maklum kelakuan seorang pangeran, ada kemanjaan masa lalu
(penuh kasih sayang) yang malah jadi penghalang, (yang semula)
calon ratu,(malah) jadi pembakar menentang musuh, bur…
(diterjemahkan oleh Anis Djatisunda, Budayawan Jawa Barat).
Wangsit berbahasa Jawatengahan yang tercantum dalam Buku Hideung, setelah diterjemahkan secara bebas, isinya memberitakan seorang Pangeran kerabat Jagabaya dari Imbanagara yang semula ia dicalonkan untuk menjadi ratu, malah menjadikan timbulnya ketegangan dengan musuh. Sehingga akhirnya ia pergi meninggalkan Imbanagara.
Sumber lain memberitakan Kabupaten Galuh Imbanagara diperintahkan oleh Raden Adipati Jagabaya tahun 1731 – 1752 M. Berahkirnya pemerintahan Adipati Jagabaya (1752 M) diganti secara paksa oleh Rd. Adipati Danu Sumadinata atau yang dikenal dengan Aom Danu (sumber Majalah Kawit : Desember 1974), atas desakan Kompeni Belanda, sehingga timbul persengketaan Sang Pangeran dengan sang Bupati. Karenanya ia memilih pergi secara diam-diam meninggalkan Imbanagara ke arah barat, ke wilayah Surade sekarang.
Keberadaan masyarakat di suatu daerah tentu mempunyai sejarahnya masing-masing dengan latar belakang yang berbeda-beda pula. Hal ini telah diingatkan oleh para leluhur sebagaimana yang tertulis pada koropak 632, dari Kabuyutan Ciburuy–Bayongbong Garut (Amanat Penguasa Galunggung) bahwa:
nanya ka nu karwalwat, mwa téo(h) sasab na agama pun, na sasana
bawat kwalwat pun, hana nguni hana mangké tan hana nguni tan
hana mangké, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula
hanteu tu ayeuna, hana tunggak hana watang tan hana tunggak tan
hana watang, hana ma tunggulna, aya tu catangna, hana guna hana
ring demakan, tan han guna tan hana ring demakan.
Bertanyalah kepada orang-orang tua (sesepuh), niscaya tidak
akan hina dan tersesat dari agama, ada dahulu ada sekarang,
tidak ada dahulu maka tidak akan ada sekarang, ada masa lalu
maka ada masa sekarang, bila tidak ada masa lalu maka tidak
akan ada masa kini. Ada tunggul kayu ada batang, tidak ada
tunggul kayu maka tidak akan ada batangnya. Kalau tidak ada
generasi dahulu maka tidak akan ada generasi sekarang. Ada
jasa ada anugrah, tidak ada jasa tidak akan ada anugrah
Secara keseluruhan kalimat di atas berisi nasehat dan petunjuk ajaran kehidupan dari Raja Sunda Prabu Guru Dharma Siksa (1175-1297) kepada putranya, Prabu Raga Suci alias Sang Lumahing Taman beserta cucu dan cicitnya, juga segenap masyarakatnya kala itu. Hal ini terlahir karena menurut pandangannya, zaman itu sudah banyak masyarakat sunda yang “loba di Sanghiyang Siksa” atau melanggar adat istiadat.
Dalam kontek proses budaya masyarakat kita sekarang, kalimat tersebut memberikan petunjuk bahkan peringatan. Bahwa, pranata budaya manusia setiap kurun waktu merupakan suatu kemustahilan bisa terlepas dari rentang benang merah perjalanan sejarah budaya “kuno” masa lalunya. Satu-satunya patokan utama bagi pegangan pemahaman hal tersebut adalah sejarah.
Dikaitkan dengan Sumber Daya Manusia yang ada mengenai produk pemikiran masyarakat sekarang baik politik, ekonomi, sosial, budaya atau munculnya momentum, tidak terlepas dari bahan-bahan yang sudah ada sebelumnya.
Peninggalan sejarah yang berasal dari masa ke masa, tidak hanya berbentuk benda tetapi juga berupa tradisi, legenda, dan lain-lain yang merupakan dokumentasi kebudayan. Selain itu peninggalan sejarah merupakan hasil logika, etika, estetika bangsa Indonesia, yang mencerminkan sejarah dan budaya bangsa. Hal ini merupakan kekayaan yang dapat didokumentasikan. Sebagai sumber inspirasi untuk meningkatkan apresiasi yang dapat dikembangkan melalui karya seni lainnya baik dalam bentuk naskah Teather, Sinetron, Roman Sejarah, puisi, pantun dan lain-lain.
Mempelajari sejarah merupakan salah satu media edukatif juga kultural, sehingga dapat mempertebal rasa Kesatuan dan Persatuan Bangsa; meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai aset budaya lokal dan kondisi perkembangan wilayah sebagai penopang kebutuhan masyarakat dalam melakukan perubahan menuju kualitas yang lebih baik. Mempelajari sejarah dapat memberikan manfaat yang besar diantaranya memberikan visualisasi peristiwa kesejarahan dalam konteks waktu dan tempat; mempertinggi budi pekerti, berkepribadian, mempertebal semangat kebangsaan, dan cinta tanah air; dan bermanfaat sebagai penangkal budaya asing.
Buku Sejarah Surade merupakan sebuah upaya dalam rangka mewariskan nilai-nilai yang terkandung dalam makna cerita rakyat tersebut. Buku Sejarah Surade dapat dijadikan sebagai media bacaan dalam rangka memperoleh pengetahuan tentang asal-usul penduduk serta yang melatar belakanginya. Sehingga kita memiliki kebanggaan tersendiri sebagai masyarakatnya.
Buku Sejarah Surade terlahir sebagai upaya penjernihan akibat kekeliruan, kekaburan, ketidaklengkapan dalam pengisahan yang merupakan akibat subyektivitas berlebihan dari para informan dari masa ke masa. Sebab salah satu tradisi suku Sunda masa lalu, dalam mendokumentasi sebuah peristiwa melalui prasasti-prasasti batu atau naskah-naskah lontar dan artefact-artefact (perkakas peradaban kuno) primer lainnya. Tidak sedikit yang dituturkan turun temurun secara “oral” (dari mulut ke mulut), berupa cerita-cerita pantun, dongeng sasakala (toponimi) dan sebagainya.
Sebagai warga masyarakat yang peduli akan daerah kelahiran, kami merasa terpanggil untuk ikut melestarikan benda-benda peninggalan sejarah yang berada di Surade. Kami sangat menyesalkan apabila benda-benda peninggalan bersejarah terabaikan dan dibiarkan begitu saja, apalagi jika generasi berikutnya di kemudian hari melupakan bahkan mungkin tidak akan mengenal lagi. Padahal benda tersebut sangat berarti dan merupakan aset budaya daerah serta memiliki nilai sejarah.
Salah satu bentuk kepedulian kami dalam melestarikan budaya dan memelihara benda-benda bersejarah yang berada di wilayah Surade dan sekitarnya yaitu melakukan penelusuran sejarah. Dalam penelusuran Sejarah Surade kami mencoba menghimpun informasi dan benda-benda peninggalan sejarah yang berada di Surade dan sekitarnya dari berbagai sumber.
Dalam menghimpun informasi dan benda-benda peninggalan sejarah sebagai penunjang kegiatan kami, dan untuk mendapatkan legimitasi dan menyamakan persepsi dari masyarakat Surade tentang Sejarah Surade maka diadakan seminar tentang Penulisan Buku Sejarah Surade, yang diselenggarakan pada Hari Minggu, 22 Juni 2008, dengan menghadirkan tokoh masyarakat, para penutur cerita dan para penyimpan benda peninggalan sejarah. Adapun narasumber dalam Seminar Penulisan Buku Sejarah Surade, yaitu :
- Ki Kamaludin. Beliau adalah tokoh masyarakat Surade yang gemar berpetualang dalam penelusuran Sejarah Surade dan sekitarnya sejak tahun 1967.
- Drs. Djuanda. Beliau merupakan asli masyarakat Jampangkulon, sebagai tokoh seni dan budaya Kabupaten Sukabumi.
- Anis Djatisunda. Beliau merupakan tokoh Budayawan Jawa Barat.
Seminar tersebut merupakan hasil kerjasama kami dari Baladaka (Balad Pemuda Kreatif) Surade dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kabid Bina Kebudayaan) Kabupaten Sukabumi tahun 2008.
Perlu diketahui oleh para pembaca bahwa Narasumber (Ki Kamaludin) sejak tahun 1974 telah melakukan semacam saresehan dengan para tokoh Surade yang mempunyai silsilah, pemegang benda bersejarah, para kuncen dan yang mengetahui tentang Sejarah Surade. Dalam acara tersebut disepakati untuk menyamakan persepsi tentang Sejarah Surade sehingga dalam kegiatan seminar tersebut juga kita menyamakan persepsi dan disepakatinya tentang Sejarah Surade. Hal ini lebih memperkuat keakuratan cerita dalam buku Sejarah Surade ini.
Dengan semangat kebersamaan dan motivasi yang kuat dari semua pihak, terutama para sesepuh masyarakat Surade dan sekitarnya yang mengharapkan terinventarisir-nya bukti-bukti Sejarah Surade, sehingga dapat memotivasi generasi muda untuk lebih mencintai budaya daerahnya sendiri.
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !