Kaitan antara isi naskah
Piagam Sunan Nalagangsa dengan cerita rakyat
Asal-Usul nama Kampung Batu Susuhunan
Cerita ini bersumber dari warga setempat yang menggunakan bahasa Sunda. Ditulis dalam buku ini setelah melalui penyempurnaan baik dalam susunan kalimat dan alur cerita. Nama-nama tokoh yang tercantum dalam buku ini sebagian rekaan atau fiksi dari informan.
Nama kampung Batu Susuhunan, terletak di sekitar Cigangsa antara Desa Swakarya dan Desa Kadaleman Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi. Sekarang kampung Batu Susuhunan berubah nama menjadi kampung Suhunan.
Wilayah tersebut berbatasan sebelah Barat Utara dengan Sugih (Majalengka), Wado (Sumedang) terus ke sebagian Talaga Kuningan, Mandirancan. Sebelah selatan Timur yaitu sebagian Majenang, Cimanggu, Karangpicung, Kawunganten, sedangkan ke bagian Selatan Barat yaitu ke sebagian Galuh (Ciamis), sebelah Utara Cikijing. Ke bagian Barat yaitu sebagian kecil Parakanmuncang, Timbanganten dan sebagian Limbangan-Garut.
Pada saat Sultan memangku kekuasaan Mataram beliau tidak pernah datang ke Ladeh sebab tempat tersebut sulit dijangkau karena jauh dari Mataram. Tapi rasa khawatir menyelimuti Sultan terhadap Sumedang, Banten dan Cirebon yang akan merebut daerah kekuasaannya tersebut, atau mungkin saja rakyat Ladeh sendiri berkeinginan untuk memisahkan diri dari Mataram. Sedangkan pada saat itu terjadi perang antara Inggris dengan Belanda pada perang Eropa. Dapat dibayangkan seandainya Belanda kalah oleh Inggris maka seluruh jajahan Belanda akan beralih tangan kepada Inggris. Pabila dibiarkan, sedikit banyak akan berpengaruh pada tatanan pemerintahan yang lainnya. Sedangkan situasi Mataram pada saat itu sedang lemah. Kekuatan semakin berkurang akibat perang yang berkepanjangan. Prajurit banyak yang meninggal. Anggaran keuangan semakin menipis, menimbulkan wilayah yang semula luas kini menyempit akibat diserahkan kepada Kompeni sebagai tebusan sesuai perjanjian dalam membantu Mataram ketika mengatasi kemelut dalam negerinya.
Untuk menghindari hal tersebut maka Sultan berupaya mengadakan pembenahan serta membuat kebijakan, melalui : (1) Mengupayakan pemekaran wilayah. Sultan merencanakan bahwa Ladeh dan sekitarnya akan dijadikan pemerintahan pemekaran dari status kacutakan (kecamatan) menjadi wilayah pemerintahan kamantren/distrik (sekarang disebut kabupaten), yang dipimpin oleh seorang Mantri (jabatan di atas wedana). Kamantren Ladeh direncanakan memegang 3 kewedanaan yaitu Kewedanaan Mandala, Kewedanaan Cipanaha dan Kewedanaan Bojongeureun. Untuk para pemimpin dan para pejabatnya, Sultan sudah mempersiapkan orang pribumi asli yang mempunyai keahlian dalam bidangnya yang mampu dalam melaksanakan tugas. Hal ini bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat putra daerah. Selain itu supaya bisa menjaga marabahaya dan segala kemungkinan yang terjadi. Dengan demikian maka akan menambah pengaruh kekuatan Kesultanan Mataram; (2) Pembenahan dan perubahan aturan-aturan, pembuatan undang-undang, hukum serta membuat dewan pengadilan dalam rangka menegakan hukum. Dalam menegakan Supremasi Hukum terutama dalam memberikan vonis seseorang diupayakan para cendikia dan ahli dibidangnya turut andil dalam menegakan keadilan. Sultan memberikan kewenangan kepada yang berhak untuk menangani hal ini, karena untuk lancarnya sistem pemerintahan yang semula ketentuan hukum berada di bawah kekuasaannya; (3) Mengupayakan pajak, seba, upeti tidak lagi menjadi beban para pimpinan daerah serta pemimpin wilayah jajahannya. Dalam arti bahwa pembayaran pajak, seba, dan upeti bergantung dari kebijakan para pimpinan daerah, termasuk menghadiri acara upara Grebeg Mulud yang biasanya setiap pimpinan daerah diwajibkan hadir dalam setahun sekali, tidak lagi jadi paksaan; (4) Diberi kekuasaan dan keleluasaan untuk mengatur keuangan pembangunan daerah. Istilah lain disebut pengaturan Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah; (5) Bupati diberi kebebasan untuk mengatur pemerintahannya masing-masing. Istilah sekarang "Sistem Desentraliasasi". Dengan demikian segala harapan Sultan untuk pembangunan daerah dan kesejahteraan rakyat bisa segera tercapai.
Upaya Sultan dalam menghadapi situasi saat itu memanglah tepat, tapi bukan hal yang mudah untuk dilaksanakan. Karena situasi, kondisi dan faktor lain tidak mendukung. Dalam mengatur strategi pemerintahannya beliau selalu terbuka dan dibicarakan bersama-sama dengan para pemimpin di dalam keraton maupun dengan pemimpin daerah jajahannya. Sultan selalu bermusyawarah dalam segala urusan untuk mendapatkan legimitasi dari semua pihak. Bahkan dalam pelaksanaan program yang bersifat baru, Sultan selalu mengumumkan melalui tokoh-tokoh kepercayaannya.
Semua upaya Sultan sepertinya sia-sia. Sebab menghadapi kemelut adanya perselisihan di dalam keraton, merupakan tantangan yang harus dihadapi terutama menyelesaikan perselisihan antara priyai dan para bangsawan. Sedangkan tantangan dari luar adalah menghadapi berbagai perubahan oleh Belanda. Mereka selalu ikut campur urusan dalam negeri dan mengendalikan pemerintahan. Bahkan mereka mengangkat raja-raja untuk dijadikan sebagai bawahannnya. Setiap wilayah dikuasai langsung seolah-olah merekalah sebagai pusat pemerintahan yang berakibat raja-raja yang terbentuk tidak memiliki wewenang atau kharisma sebagai raja berkuasa. Demikian hebatnya Belanda saat itu dalam membangun kekuatannya di bekas wilayah Mataram yang telah diserahkan kepada Belanda. Sehingga para bupati di bawah kekuasaan mereka dijadikan sebagai pegawai yang mendapat gaji dari mereka. Kemudian membentuk sebuah pasukan dari pribumi dengan komando tetap ada pada mereka, bahkan mereka membangun benteng yang baru dengan mengerahkan rakyatnya. Terlebih istimewa dan sangat mencolok, Belanda banyak membeli tanah (tanah partikulir) pribumi yang dijual kembali kepada non pribumi dengan harga tinggi, misalnya kepada para pedagang Cina yang baru datang ke tempat itu.
Sultan saat itu harus menghadapi pula pasukan Gillesfie, pasukan yang dipimpin oleh adik Sultan sendiri bersama para bangsawan, priyai di dalam keluarga sendiri akibat kesalahpahaman. Dalam sejarah dikenal dengan sebutan "Geger Sepei" (sebelum terjadinya perang Diponogoro).
Setelah kejadian itu Ladeh diserahkan oleh adik Sultan kepada Belanda sebagai tebusan dalam membantu menyelesaikan konflik dengan Sultan. Sultan sendiri tidak tahu bahwa Ladeh diserahkan ke Belanda.
Disaat Daendels membuat jalan raya Anyer-Panarukan (Banyuwangi) wilayah Ladeh merupakan persimpangan di antara jalur-jalur protokol yang menghubungkan Sumedang-Majalengka, Majalengka-Kuningan, Cirebon-Kuningan, Cirebon-Talaga, dan seterusnya sampai ke Brebes, kemudian ke arah Selatan melalui Mandirancan, Cikijing sampai Ciamis terus ke daerah Majenang-Karangpicung yaitu ke arah Banyumas.
Ladeh saat itu dipersiapkan untuk perubahan pemerintahan dari status kacutakan (kecamatan) menjadi distrik (kabupaten), tentu berkaitan dengan pembangunan yang melibatkan seluruh rakyatnya. Ditambah dengan kesibukan perintah Belanda dalam pembuatan jalan raya, sedangkan situasi alam dalam keadaan kemarau panjang, penduduk selalu kekurangan makanan membuat para pemimpin harus menyikapi situasi dan kondisi dan bertindak cepat.
Kemudian Sultan mengangkat Sunan Nalagangsa sebagai penanggung jawab penuh dalam pemekaran wilayah Ladeh, baik dalam menentukan batas-batas wilayah pemekaran, menentukan pusat pemerintahan dan membangun pendopo. Untuk kelancaran pemekaran tersebut maka Sunan Nalagangsa mengadakan musyawarah bersama para pejabat keraton untuk menentukan batas-batas dan pusat kota. Sebagai ketua pelaksana dalam patok/batas wilayah pemekaran adalah Penghulu Wilandana. Sedangkan Panembahan Ladeh hanyalah mengatur dari kejauhan, karena saat itu berada di Mataram yang kadang-kadang menjadi wakil jika Sultan berhalangan. Panembahan Ladeh ditahan Sultan untuk tetap tinggal bersamanya terlebih pada saat Upacara Grebeg Mulud, beliau disibukkan dalam melayani banyak tamu yang berkunjung.
18px18pxSebagai kekuatan dalam melaksanakan tugas pemekaran, kemudian Sunan Nalagangsa mengeluarkan surat/piagam yang bunyinya sebagai berikut :
penget pikukuh saking susuhunan nalagangsa,
pratingkahing batok putih, lulusena hing Ladeh,
batok putih, yen hana mantri manukan kukuhana
hing Ladeh.
Ketahuilah! ini piagam Sunan Nalagangsa yang memegang tugas menjadi penanggung jawab dalam menentukan batas-batas wilayah pemekaran di Ladeh. Keputusan dalam menentukan letak atau lokasi batas-batas wilayah Ladeh tersebut, sesuai dengan aturan yang resmi. Hal penentuan batas wilayah tersebut sudah disyahkan dan harus segera membangun pusat kota serta harus segera mendirikan pendopo (tempat tinggal seorang pejabat), mengingat akan tinggalnya seorang Mantri (pejabat penguasa) wilayah Kedistrikan Ladeh.
Surat tersebut kemudian diumumkan kepada rakyat Ladeh untuk diketahui dan dilaksanakan pembangunan pemerintahan distrik Ladeh. Sehingga rakyat Ladeh disibukkan oleh dua perintah yang harus dilaksanakan. Keduanya harus dilaksanakan dalam satu waktu. Penduduk mendapat perintah kerja paksa dari Belanda untuk membuat jalan raya pada saat pemerintahan Ladeh melaksanakan pembangunan pemekaran wilayah. Bagaimana penduduk harus menyikapi dua kepemimpinan?. Sehingga terjadi dua kebijakan, yang keduanya harus dituruti dan diikuti. Keduanya memiliki aturan-aturan yang sifatnya memaksa bagi penduduk.
Selain itu penduduk merasa bingung karena Ladeh telah diserahkan oleh adik Sultan kepada Belanda pada saat terjadi peristiwa geger sepei. Siapa yang harus dipatuhi?. Kepada siapa harus mengadu?. Karena wilayah pemekaran itu belum memiliki pemimpin dalam pemerintahannya. Yang ada hanyalah pejabat sementara, selama menanti pemimpin datang yaitu seorang Mantri Distrik. Yang ada adalah pemimpin pembangunan untuk menentukan batas-batas wilayah yang disebut Lulugu Batok Putih yakni Sunan Nalagangsa.
Dalam menentukan batas-batas wilayah pemekaran dan menentukan pusat pemerintahan Distrik Ladeh, timbul tantangan dari berbagai pihak terutama dari rakyat Ladeh sendiri. Sebab banyak tanah rakyat yang terampas untuk digunakan sebagai pusat pemerintahan serta digunakan untuk jalan raya. Selain itu rakyat diwajibkan untuk melaksanakan pembuatan jalan dan pembangunan pemerintahan pemekaran.
Rakyat Ladeh menjadi sengsara karena terampas hak miliknya. Kebun, sawah, ladang, maupun tanah serta tempat tinggalnya, kehilangan harta benda, juga binatang piaraan. Selain itu rakyat dikuras keringatnya untuk membangun pusat kota.
Rakyat semakin menderita terlebih ketika musim kemarau panjang disaat para penduduk memerlukan makanan. Pada saat itu kerja paksa yang dilaksanakan secara bergiliran pda kenyataannya dilakukan tiap hari tanpa henti. Dengan adanya kerja paksa korban manusia berserakan karena mati kelelahan; kehabisan tenaga, mati karena lapar, mati karena disiksa petugas yang selalu mengawasinya, tanpa memiliki rasa perikemanusiaan. Kian hari kian bertambah beban penderitaan yang dirasakan rakyat. Sehingga tak terasa pula tabungan kebencian, tabungan kekecewaan, amarah, dendam kesumat makin menggunung. Kemarahan rakyat Ladeh masih dapat terbendung dan dapat disembunyikan dalam dada mereka karena mereka khawatir dengan peluru pistol yang harus menembus tubuhnya ketika melawan. Lama-kelamaan amarah tak lagi dapat bersembunyi akibat terlalu sering menyaksikan peristiwa perkelahian karena situasilah pemicunya.
Berbagai kejahatan seperti perampokan, penipuan semakin bermunculan serta merta akibat para penduduk kelaparan. Dalam situasi seperti ini rakyat semakin melarat ditambah lagi sistem pungutan baru kepada rakyat jelata berupa pajak yang semakin meningkat, di lain pihak masih tetap diberlakukan pungutan cuke, seba, dan upeti dari setiap daerah termasuk dari wilayah pemerintahan distrik Ladeh yang baru dibentuk. Upaya Sultan untuk mensejahterakan dan menyejukan penduduk di wilayah kekuasaannya itu ternyata tidak sesuai dengan harapan. Para pemimpin pemerintahan Ladeh termasuk mantri Ladeh, yang awalnya direncanakan dari pribumi asli, kenyataannya dari orang luar Ladeh yaitu orang-orang kompeni Belanda. Termasuk para pemimpin yang menjadi penghulu, mantri garam, mantri kopi, juragan raksabumi dan penguasa perkebunan, semuanya dari kaki tangan Belanda. Pajak yang rencananya diserahkan ke pribumi ternyata malah diambil oleh orang-orang Belanda yang berada di pusat pemerintahan Ladeh.
Situasi saat itu diperparah lagi oleh kesalahpahaman pihak Sunan Nalagangsa dengan kaki tangan Belanda. Mereka berebut aturan dalam menentukan batas-batas jalan. Akhirnya Sunan Nalagangsa turun tangan dalam menanamkan patok-patok batas dengan diberi tanda putih, batok putih. Sebagai tanda bahwa patok-patok putih tersebut merupakan batas yang ditentukan oleh Sunan Nalagangsa.
Pada situasi yang semrawut tersebar berita bahwa ada tuan-tuan Belanda yang mati dibunuh oleh rakyat Ladeh yaitu Tuan Tjikar, dan Tuan Ponir. Mereka adalah petugas yang selalu mengirimkan surat-surat penting dari pos ke pos dengan menunggangi roda yang ditarik kuda dan sering lewat di jalan raya yang baru dibuat.
Mereka dibunuh oleh rakyat karena sering memberi tugas semena-mena untuk menyampaikan surat dengan cara berjalan kaki dan tanpa rasa kemanusiaan. Sedangkan dia sendiri berleha-leha tanpa memperdulikan orang banyak bahkan perbuatan yang membuat rakyat benci adalah kebiasaan mempermainkan banyak wanita. Hal ini membuat rakyat Ladeh yang berada di pinggir jalan merasa tidak betah bahkan banyak yang pindah menjauhi jalan raya.
Ada lagi berita bahwa mereka dibunuh karena memaksa setiap pekerja rodi dengan keras dan tiada luput memukulnya jika lamban bekerja. Mereka menyuruh mencabuti seluruh patok yang menghalangi perjalanan rodanya serta dipaksa agar segera memindahkan patok-patok yang sudah tertancap kuat. Mereka itu adalah tuan-tuan yang tidak mau memahami pekerja, atau memang mereka menganggap bahwa harkat, derajat dan martabat bangsa yang dijajah itu adalah hina. Mereka terlalu picik. Oleh karenanya mereka itu tidak peduli sama sekali kepada pekerja rodi yang keadaanya sudah payah.
Berita yang lebih parah yang sampai ke Belanda bahwa tuan Tjikar dan tuan Ponir dibunuh oleh para pemimpin yang diberi tugas menentukan batas (lulugu batok putih) yaitu Sunan Nalagangsa, Panembahan Ladeh dan Penghulu Wilandana. Hal ini menambah ketegangan dengan pihak Belanda.
Panembahan Ladeh merasa kecewa ketika mendengar berbagai berita yang sampai kepadanya. Pada saat itu beliau berada di keraton. Dengan adanya berita tersebut Sultan merasa kecewa sehingga beliau mengajak secara paksa setiap pemimpin daerah untuk membahas hal tersebut di kesultanan (di keraton). Panembahan Ladeh pun diminta pertanggungjawabannya.
Demi keselamatan, keamanan dan ketentraman seluruh rakyat Ladeh maka Panembahan Ladeh siap mem-pertanggungjawabkannya sendiri. Beliau siap ditahan di Mataram. Lalu beliau menyampaikan surat permohonan kepada Sultan, melalui Sunan Nalagangsa untuk menitipkan seluruh anak, cucu, serta semua rakyat Ladeh. Adapun bunyi surat tersebut adalah sebagai berikut:
penget pikukuh panembahan ladeh,
hing mataram : raja mataram, sun titip anak putu isun,
sabada isun sing sapa laku gambeyok,
astawelu, jamang, tepung, mangulah-ulah,
kapineda ora sambewara, isun tinedaken,
mangulah-ulah! kapineda ora : suluran, besuk,
mataram dadi ala(ng)-ngalang,
Maka ketahuilah!. Ini Piagam Panembahan Ladeh (ketika di Mataram memohon kepada Sultan) : "Raja Mataram, Hamba titipkan anak cucu hamba selama hamba tinggal di sini untuk melaksanakan kewajiban hamba. Jika ada pengikut hamba yang sengaja datang untuk menemui hamba, hendaknya dilarang saja, bahkan jangan diberitahukan!, hamba memohon pula dengan sangat, agar mereka dilarang datang untuk menjenguk, mohon jangan ada pula yang ingin menggantikan diri hamba dalam melaksanakan kewajiban tinggal di sini (ditahan), beritahukan agar mereka jangan pergi menemui hamba ke Mataram, hamba mengkhawatirkan mereka sehingga mendapat rintangan atau gangguan kepada dirinya.
Sunan Nalagangsa menyayangkan atas terjadinya peristiwa pembunuhan tersebut sehingga mengakibatkan Panembahan Ladeh ditahan di Mataram. Kemudian Sunan Nalagangsa mengumpulkan semua orang yang ber-tanggungjawab dalam pemekaran wilayah Ladeh untuk dimintai keterangan, siapa sebenarnya yang mendalangi tindakan dibalik semua itu. Agar rakyat Ladeh tidak khawatir oleh ancaman dari pihak korban yaitu Belanda.
Pada saat itu datang utusan Penghulu Wilandana yang membawa surat untuk disampaikan kepada Sunan Nalagangsa. Bunyi suratnya sebagai berikut :
penget pikukuh saking panghulu wilandana,
sampun kang uwarkeun, hing mangke, kang jamang tepung,
lan gambeyok, lan astawelu, kang dudu-dudu,
kang sambewara : dudu anak putu ladeh !,
isun amateni batok !, isun amateni batok !
yen nyata-nyata ladeh kumureb !
Uwar ! Batok sedek!,
Sun pesem, Batok ora kawengku
dening bumi langit !
Titip, titip !.
Ingat!. Inilah piagem Penghulu Wilandana yang sengaja lapor (kepada Sunan Nalagangsa, bahwa beliau nanti akan mengabarkan, serta sengaja akan mengunjungi warga penduduk dan anak putu keturunan Panembahan Ladeh serta harus diketahui oleh seluruh penduduk Ladeh, bahwa Penghulu Wilandana akan mengumumkan dengan sendirinya, serta akan mengabulkan dengan kesadarannya sendiri untuk wajib tinggal atau mau mengganti/menjadi tahanan bersama anak buah/pengikut/kaki-kaki tangannya, juga para pendukung lainnya. Bahwa Penghulu Wilandana akan mengatakan sendiri di depan khalayak, bahwa :) "Bukanlah anak cucu Ladeh (yang membunuh batok), tetapi Akulah Panghulu Wilandana yang membunuh batok! "Akulah (Panghulu Wilandana) yang membunuh batok! "bahwa sudah jelas akulah yang mengakibatkan Ladeh terkubur!.
Ketahuilah oleh kalian!. Semua patok hendaknya buang, dihancurkan, dirusak, jangan ada yang tersisa! Patok tersebut menyesatkan (menyusahkan, membuat orang lain susah), mengakibatkan rakyat melarat, membuat kalian sengsara! Biarlah, aku rela berkorban untuk membela kalian, biar akulah (Panghulu Wilandana) yang harus menjalani hukuman (ditahan di Mataram) walau harus sampai mati!. Dan itu lebih baik daripada terbelenggu oleh bumi dan terkurung langit!.
Titip, titip !
Ternyata yang mendalangi pencabutan patok-patok yang telah ditanam oleh Sunan Nalagangsa adalah Penghulu Wilandana. Namun beliau tidak merasa membunuh tuan-tuan Belanda. Beliau secara terang-terangan tidak setuju adanya pemerintahan baru yang sekiranya membawa sengsara semua rakyat. Beliau siap ditahan di Mataram.
Sunan Nalagangsa dan Panembahan Ladeh merasa gembira pada usaha Penghulu Wilandana, bahwa yang dilakukan penghulu Wilandana hanya untuk membela rakyat Ladeh beserta keturunannya. Bahkan Panembahan Ladeh melarang Penghulu Wilandana untuk menggantikan dirinya ditahan di Mataram. Lebih baik beliau yang mempertanggungjawabkannya untuk ditahan dari pada harus melibatkan seluruh rakyat Ladeh menjadi korban.
Sunan Nalagangsa merasa puas termasuk rakyat Ladeh yang awalnya merasa khawatir oleh Belanda malah ternyata ikut mendukung atas pendirian Penghulu Wilandana. Semakin hari hampir seluruh rakyat Ladeh mengakui dan menyambutnya serta ikut berada dalam barisan untuk berbuat seperti yang dikehendaki Penghulu Wilandana yaitu mencabuti batas-batas wilayah pemekaran dan batas-batas jalan. Bahkan Sunan Nalagangsa memimpin paling depan dengan memerintahkan agar seluruh patok yang telah ditanam disetiap tempat segera cabuti. Karena akan memberi kemudahan bagi Konvoy tentara Belanda yang akan menyerang Mataram dari arah belakang yaitu dari arah Banyumas melalui Kuningan, Ciamis, Majenang, dan Karangpicung. Belanda akan melumpuhkan tentara Mataram dengan mudah apabila jalan raya itu dibangun segera. Sunan Nalagangsa memerintahkan seluruh rakyat Ladeh agar merusaknya dan membatalkan perombakan pemekaran wilayah Ladeh, karena itu akan menguntungkan pihak lawan sebab wilayah itu menjadi wilayah kekuasan Belanda setelah diserahkan adik Sultan.
Berita pencabutan patok wilayah pemekaran dan patok jalan sampai ke Belanda. Rakyat Ladeh merasa khawatir Belanda akan menyerangnya. Kekhawatiran rakyat Ladeh ternyata benar, Belanda merencanakan untuk menyerang dan membumi hanguskan rakyat Ladeh. Melihat situasi yang menegangkan itu, Sunan Nalagangsa mengadakan persiapan untuk melawan tentara Belanda. Beliau mempersiapkan pasukannya dengan persenjataan yang sederhana seperti golok, parang, panah dan sebagainya.
Ketakutan rakyat Ladeh semakin nampak ketika mendengar letusan senjata dari tentara Belanda yang baru tiba dari Losari-Brebes, sehingga seluruh pengikut Sunan Nalagangsa dan balad-balad Panghulu Wilandana kocar-kacir lari terbirit-birit mencari perlindungan. Demikian juga para pengikut Panembahan Ladeh. Akhirnya mereka melarikan diri untuk bersembunyi dan kemudian mereka menjauhi tempat tinggal mereka. Tanpa disadarinya bahwa kampung yang mereka tinggalkan sudah cukup jauh. Perjalanan mereka sudah berhari-hari. Mereka sudah tidak ingat berapa lama perjalanan yang telah ditempuh dan mereka tidak tahu sekarang sudah berada dimana. Mereka membiarkan harta benda ditinggalkan, binatang piaraan, sawah ladang dan juga sanak saudara yang mereka cintai. Ada yang lari ke Indihiyang (Ciamis), ada yang ke arah Barat sampai ke Majalaya, Sukalilah, Cibiru, Cililin (Bandung). Ada juga yang sampai ke Jampangwetan, ke Ciletuh (Ciemas), ke Cimulek (Waluran), ke Kampung Pabuaran (Lengkong), ke Sukatani (Jampangkulon). Sedangkan Sunan Nalagangsa pada saat itu sampai ke pelataran Surade. Beliau datang ke tempat ini sekitar tahun ± 1811 Masehi. Pada saat itu beliau membawa sebuah gangsa yang dibuat semacam bokor, kemudian dilemparkan ke sungai dan dimana bokor tersebut berhenti di sanalah Sunan Nalagangsa membuat perkampungan Bokor tersebut berhenti Kampung Naringgul Cibeunteur. Dekat Cihaurkuning terus ke bawah ada sungai Cigangsa. Di tengah-tengah sungai Cigangsa Sunan Nalagangsa menyusun batu sehingga seperti stupa yang tingginya sekitar ± 3-6 meter. Batu tersebut dikenal dengan nama batu Susuhunan (batu Sunan), bahkan sebagian masyarakat menyebutnya batu Masigit. Akhirnya Batu Susuhunan dijadikan sebuah nama kampung Batu Susuhunan dan sekarang disebut Kampung Batu Suhunan-Cigangsa.
Makam Sunan Nalagangsa berada di Cigangsa, sedangkan makam Dalem Penghulu Wilandana berada di Waluran dan Makam Panembahan Ladeh berada di Ciletuh (Ciemas).
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !