Piagam Sunan Nalagangsa



1. PIAGAM SUNAN NALAGANGSA



Tahun 1982 Naskah Piagam Sunan Nalagangsa tersimpan pada seorang ahli waris yaitu Bapak Odeh (65 tahun). Beliau mantan juru tulis Desa Waluran, bertempat di Kp. Cimulek Kecamatan Waluran Kabupaten Sukabumi.

Piagam Sunan Nalagangsa ditulis pada lempengan tembaga dan kulit kayu (Saeh). Pada lempengan tembaga sebanyak 3 (tiga) lempeng, yaitu lempengan pertama (rekto=muka) terdiri dari 4 baris, lempengan kedua (rekto) terdiri dari 5 baris, lempengan ketiga (rekto) terdiri dari 4 baris. Pada lempengan pertama (verso=belakang) terdiri dari 4 baris, lempengan kedua (verso) terdiri dari 3 baris, lempengan ketiga (verso) terdiri dari 3 baris. Sedangkan naskah piagam yang ditulis pada lembaran kulit kayu (saeh), terdiri dari 31 baris. Naskah Piagam tersebut ditulis dengan menggunakan tinta jelaga (mangsi Cirebon).

Naskah piagam Sunan Nalagangsa yang terdapat pada kulit kayu (saeh) berukuran panjang ± 30,5 cm, dengan lebar ± antara 9-10 cm. Susunan kalimat yang tertulis pada kulit kayu (Saeh) dan lempengan tembaga isinya sama. Namun pada naskah piagam Sunan Nalagangsa tidak terdapat candrasangkala atau titimangsa kapan surat atau piagam itu dibuat atau selesai ditulis.

Pada naskah piagam Sunan Nalagangsa tidak terdapat candrasangkala atau titimangsa kapan surat atau piagam itu dibuat atau selesai ditulis. Piagam ini merupakan hasil tinulad atau salinan.

Naskah Piagam Sunan Nalagangsa pada tahun 1976, ditranskripsikan oleh Bapak Drs. Saleh Danasasmita serta diberi tanda kwalifikasi dengan tulisan ”TEMBAGA I”.



Isi Naskah Piagam Sunan Nalagangsa

Dalam naskah Piagam Sunan Nalagangsa terdapat isi naskah surat dari Panembahan Ladeh dan Panghulu Wilandana. Adapun isi naskah piagam Sunan Nalagangsa secara keseluruhan yang ditulis pada kulit kayu saeh, sebagai berikut :

Baris pertama sebagai "Purwaka" (Pembukaan )
penget pikukuh
saking susuhunan nalagangsa
pratingkahing batok putih
lulusena hing Ladeh
Baris selanjutnya adalah inti
pesan atau disebut "Paparan"
batok putih, yen hana mantri
manukan kukuhana hing Ladeh.
penget pikukuh panembahan ladeh
hing mataram : raja mataram, sun titip
anak putu isun, sabada isun sing
sapa laku gambeyok, astawelu,
jamang tepung, mangulah-ulah
kapineda ora, sambewara,
isun tinedaken, mangulah-ulah
kapenida ora suluran besuk
mataram dadi ala(ng)-ngalang
penget pikukuh saking panghulu
wilandana sampun kang uwar
keun hing mangke kang jamang
tepung lan gambeyok
lan astawelu kang sambewara
dudu anak putu ladeh
isun amatemi batok
isun amatemi batok,
yen nyata-nyata ladeh kumureb
Baris ke tiga adalah kata
penutup (kolofon),

kumureb uwar batok
sedek sun pesem batok
ora kawengku dening bumi la
ngit titip.

Piagam Sunan Nalagangsa


Terjemahan Naskah Piagam
Sunan Nalagangsa



(1). penget/painget, artinya tanda agar diingat, dapat juga diartikan Ingatlah!, atau Ketahuilah!; (2). pikukuh, artinya amanat, surat, piagem, wasiat, ketentuan bersipat resmi; (3). saking, artinya dari. (dari pejabat yang membuat keputusan); (4).susuhunan= sunan, yaitu nama status jabatan dalam pemerintahan kesultanan, (misalnya dalam kerajaan Mataram, secara hiearchi kepemimpinan dari atas ke bawah adalah sebagai berikut : Sultan, kemudian ke bawahnya adalah Susuhunan atau Sunan, Panembahan, lalu ke bawahnya Mantri, Bupati atau Adipati, lalu Patih, Wedana lebet, Wedana kiwa, Wedana Keparak Tengen, Wedana Keparak Kiwa, dan seterusnya); (6). pratingkahing, artinya yang melakukan tugas atau pengelola, panitia, penyelenggara mengenai suatu urusan; (7). batok putih, yaitu Wates wilayah, setelah dibuatkan atau ditanam batu nekara (peresmian pembagian wilayah dengan menanam batu yang bentuknya lonjong), ditanam di pusat pelayanan pemerintahan, biasanya di depan pendopo yaitu tempat yang akan dijadikan rumah tempat tinggal Bupati. Batok sama dengan patok atau pembatas ruang/bidang datar. Putih artinya putih atau warna putih. Batok Putih dimaksud dalam naskah adalah batas–batas yang telah ditentukan sesuai perjanjian melalui musyawarah yang bersipat resmi. Watok putih; batas wilayah ketika memulai/ merintis dalam pemekaran wilayah pemerintahan yang baru (pada saat Kesultanan Mataram diperintah Sultan Amangkurat III khususnya di wilayah pesisir utara ketika Kompeni minta ganti rugi/tebusan perang kepada Mataram); (8). lulusena = luluguna yaitu pemimpin, yang di-tua-kan, dijadikan tempat berlindung, sesepuh atau penanggungjawab; (9). Ladeh, yaitu nama tempat, berlokasi antara Wado-Kuningan – Talaga – Brebes (Kaligangsa) – Wanasari; (10). mantri, yaitu Jabatan di atas Wedana dalam struktur organisasi pemerintahan Sumedang pada masa Geusan Ulun memerintah (l578-1601), (bandingkan dengan keterangan pada nomor (4) di atas). Sistem organisasi pemerintahan di daerah Sunda dari jabatan paling atas (tertinggi) adalah Raja (Ratu), Mangkubumi, Nu Nangganan, Wado, Pacandan (wong tani/ jawa), sedang di jaman Geusan Ulun (Sumedang) jabatan tertinggi adalah sebagai berikut : Raja (Ratu), Mangkubumi, Nangganan, Kandaga Lante, lalu di bawah Kandaga Lante yaitu Kandaga, suka disebut Umbul atau Mantri, kemudian di bawah Umbul/ Mantri yaitu Wadana atau Demang, kemudian di bawah Demang yaitu Cutak, lalu Patinggi, dan Lurah, dan terbawah ialah Somah = cacah/masyarakat atau rakyat jelata, seperti yang tertulis pada majalah Mangle Nomor 656 halaman 35 karya Drs. Saleh Danasasmita; (11). manukan kukuhana, yaitu baru diangkat/ dinaikan jabatannya (promosi jabatan), sedangkan kata “mangukuhan” artinya bertempat tinggal di pusat kota pemerintahan. Dalam pembuatan puser dayeuh atau pakemitan (pusat pemerintahan). Mantri mangukuhan yaitu mantri untuk berdiam diri/tinggal di pusat pemerintahan. Untuk Mantri/ Umbul memegang wilayah 3 kewedanaan (istilah lainnya Distrik). Distrik menguasai 3 kewedanaan. Sedangkan Demang atau Wedana, memegang 3 Kecutakan (Kecamatan). Cutak atau Camat menguasai 3 Patinggi dan Patinggi menguasai 3 (tiga) kelurahan atau memerintah 3 lurah; (12). panembahan, yaitu jabatan kepemimpinan dalam pemerintahan di bawah Sunan, seperti Panembahan Ladeh, yaitu penguasa di daerah Ladeh; (13). sabada, yaitu sesudah atau selama. Kadang juga digunakan dalam pengertian sebelum, tergantung pada siakul–kalam. (14). gambeyok, yaitu wajib melaksanakan kewajiban, wajib melaksanakan hukuman, atau di ruangan dan dikunci di tempat tahanan (karapyak, pangberokan setelah dibaros (dibaros = diadili). Gambeyok; wajib tinggal/diam atau ”dipeti-es-kan” masalahnya, sedang orangnya wajib tinggal di kantor pusat, tempat atasannya memerintah. Di Kesultanan Mataram pada saat menjelang Upacara Grebeg Mulud para Bupati/penguasa daerah suka menyerahkan upeti/seba, sambil menunggu waktu pelaksanaan upacara Grebeg Mulud, para penguasa daerah suka tinggal di suatu tempat yang telah ditentukan sebagaimana biasanya. Wajib tinggal di tempat tertentu, istilahnya melaksanakan Gambeyok;. (15). Astawelu; yaitu kanca/mitra; balad-balad, anak buah, tangan-tangan para pembantu (kaum solidaritas). Astawelu yaitu para pengikut setia/balad – baladnya, sebanyak 8 (delapan) orang. Seorang Panembahan dibantu 8 (delapan) orang tangan-tangannya yaitu Mantri kopi, mantri garam, dan lain-lainnya, seperti Ulu-ulu/dalem penghulu, kalifa kaum, dan seterusnya. (16). jamang, yaitu Ikat kepala. Ada juga yang menafsirkan Jamang = Baju kampret. Selain itu ada juga yang menafsirkan Jamang atau Jejamang yaitu perhiasan di kepala (dahi) yang dibuat dari emas, perak dan memakai 8 permata, (hiasan yang ditalikan di atas dahi sebagai ciri kepangkatan seorang panembahan; (17). tepung; artinya ketemu, menemui, menjenguk. Jamang tepung=sengaja menemui/menengok. (18). mangulah-ulah; yaitu kata larangan, jangan/dilarang.; (19). kapineda; yaitu yang dimohon, yang diminta atau yang diharapkan sekali. (20). ora; artinya jangan, dilarang, tidak boleh. (21). sambewara; artinya pemberitahuan, umumkan, informasikan. Ora sambewara=jangan diberitahu atau jangan diumumkan. (22). tinedaken; tineda + aken; artinya Memohon dengan sangat, misal : “Tinedaken mangulah-ulah=Mohon hendaknya dilarang. (23). kapineda ora; yang diharapkan dengan sangat, dimohon untuk dilarang; (24). ”Suluran; Sulur=ganti (dalam bahasa Sunda; Wadal). Ora suluran=jangan diganti; Ora susulan= jangan dikejar/jangan ditengok/jangan ditemui; (25). besuk; artinya menengok, menemui, menjenguk; (26). dadi ngalang-alang; yaitu jadi hambatan, jadi gangguan, akan mengganggu, akan menyusahkan. (27). penghulu wilandana; yaitu Nama orang atau tokoh yang memegang jabatan sebagai penghulu di pemerintahan Kabupaten. Nama penghulu yaitu Dalem Wilandana. (28). sampun; artinya sesudah. (29). kaluwaraken; artinya mengeluarkan. Dalam naskah “kaluwaraken” bukan ”kang+uwarken”= yang mengabarkan. (30). hing ; artinya di atau sampai. (kata penunjuk/kata depan), hing mangke = sampai nanti suatu saat. (31). mangke; artinya Nanti (kata penunjuk waktu). tetapi jika naskah tanpa konsonan “ng” naskah akan dibaca “make”= memakai, sebab kalimat atau kata tersebut pada naskah diikuti oleh kata ”kang + jamang” yang berarti yang mengenakan jejamang. Jejamang = perhiasan makuta/mahkota yang dipakai dan diikatkan di kepala; (32). lan; yaitu dengan atau dan (kata sambung); (33). dudu; yaitu lain. Kang dudu-dudu artinya yang lain-lain/yang lainnya; (34). isun/ingsun; yaitu aku, saya, hamba; (35). amateni; artinya membunuh, membatalkan atau menggagalkan; (36). yen; artinya bahwa; (37). nyata–nyata; artinya jelas-jelas, keterangan pernyataan tentang maksud yang sebenarnya; (38) kumureb; yaitu asal kata kureb=kubur; dikureb=dikubur, kumureb = terkubur, dipendam, diperam, tengkurap=telungkup, (nangkub, dalam Bahasa Sunda). Kumureb artinya tidak dipergunakan lagi, dibuat tidak berdaya lagi. Dalam Naskah arti yang dimaksud/makna yang dituju yaitu bentukan pemekaran pemerintahan baru itu untuk tidak dijalankan lagi. Kita perhatikan kalimatnya pada naskah itu : ” Yen nyata-nyata Ladeh kumureb”, bahwa jelasnya Ladeh terkubur (dihapus/tidak diberlakukan lagi); (39) uwar; atau diuwar-uwar yaitu diinformasikan pada yang lain, diumumkan kepada yang lain/pada khalayak/masyarakat. Ulah di uwar-uwar ka batur = jangan dikabarkan kepada yang lain; (40) ”sedek; yaitu desak. Batok sedek=patokan aturan yang menyesatkan dan membuat orang lain tersesat (bingung); (41) sun; kata “sun” kependekan dari kata “ingsun/isun” artinya aku, saya, hamba; (42).pesem artinya bubar, bertebaran, cerai berai; pesem=burak (Bahasa Kawi=berantakan). Pese dalam kamus besar Bahasa Indonesia (l989 : 677) artinya Rela berkorban karena rasa perikemanusiaan yang adil dan beradab; jadi pese artinya rela mati; (43) kawengku yaitu terikat aturan. Ora kawengku=tak terikat aturan/hukum, atau tidak dibatasi oleh pagar/aturan; (44) dening; yaitu bab, oleh, karena; (45) titip; yaitu Amanat (pemberian amanat).
(Diterjemahkan oleh Ki Kamaludin)

ooOoo


Di salin dari "Buku Sejarah Surade"
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366

Demikian Catatan Kecil tentang :
Terima kasih atas kunjungannya dan "Selamat Berkreasi Semoga Sukses"

Selanjutnya 
« Prev Post
 Sebelumnya
Next Post »

Catatan Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !

Piagam Sunan Nalagangsa