Sejarah Embah Maryani Eyang Siluman Gunungsungging











E ntol Martadilaga sebagaimana yang tercantum dalam Piagam Ki Dipati Galunggung yang dimakamkan di Gunung Srampo sebelah Timur Sungai Cikaso mempunyai keturunan yang bernama Embah Maryani atau yang dikenal dengan sebutan Eyang Salenggang dan Asep Nuji. Setelah wafatnya Asep Nuji dimakamkan di Karadenan-Cibitung. Beliau disebut juga Asep Rohmi atau Embah Maulana.

Embah Maryani disebut juga Embah Jaketra (Embah Jayakarta). Disebut demikian, karena beliau pernah berpetualang di Jakarta saat mengepung kolonial Belanda di Jakarta.

Embah Maryani juga memiliki julukan Eyang Siluman, karena beliau bisa menghilang saat menyelamatkan seorang putri bernama Dewi Dapun Sabakingking, putri seorang PATI. Yang diculik para bajo atau bajak Laut. Adapun kisah perjalanan Embah Maryani sebagai berikut :


K esultanan Banten pada saat itu sangat membenci orang-orang Kompeni (VOC). Sikap, tindakan dan perilaku kompeni tidak sesuai dengan adat istiadat pribumi. Kompeni selalu saja membuat keributan yang merugikan rakyat di wilayah kekuasaan Sultan Banten. Selain itu kompeni selalu mencari kesempatan untuk merebut dan menguasai Kesultanan Banten. Oleh sebab itu Sultan Banten merencanakan untuk mengadakan serangan kepada kompeni, mengusir kompeni. Rencana Sultan tersebut disetujui oleh para petinggi keraton serta didukung oleh para petinggi daerah bawahannya. Akhirnya beliau membuat siasat perang yaitu mengadakan penyerangan dari segala penjuru baik melalu darat maupun melalui laut.

Walaupun dengan peralatan perang yang sangat sederhana, Sultan tidak merasa takut menghadapi kompeni. Walau tanpa bantuan dari negara tetangganya, Sultan Banten tidak gentar, bahkan merasa besar harapan dapat mengalahkan kompeni. Beliau mempunyai seorang Senopati (panglima perang) yang bernama Senopati Jayakerti. Senopati Jayakerti sangat disayanginya dan merupakan tulang punggung Kesultanan Banten dalam menjaga keamanan wilayah kekuasaannya. Karena beliau merupakan prajurit yang sangat patuh dan taat dalam menjalankan tugasnya. Senopati Jayakerti merupakan salah seorang perwira Kasultanan Banten yang mempunyai jiwa kesatri yang gagah berani dalam menghadapi musuh-musuhnya. Sehingga sangat disegani oleh musuh-musuhnya.

Pada waktu yang telah ditentukan oleh Sultan Banten, maka seluruh prajurit Kesultanan Banten menyerang kompeni di Batavia. Serangan demi serangan terus menggempur dari segala penjuru baik di darat maupun di laut. Korban pun berjatuhan baik dari pihak pasukan Sultan Banten maupun dari pihak kompeni. Serangan Banten saat itu benar-benar menggetarkan pasukan kompeni, namun karena peralatan yang dimiliki tidak sebanding dengan lawan, akhirnya pasukan Banten mengalami kekalahan. Senopati Jayakerti gugur di medan laga. Pasukan Banten mundur teratur untuk menghindari peluru-peluru yang di muntahkan dari moncong bedil dan meriam.

Walaupun kalah dalam perang yang pertama, Sultan Banten tidak merasa jera. Bahkan semangatnya tambah bergelora untuk mengusir kompeni.

Kemudian Sultan Banten merencanakan serangan yang ke dua kalinya. Pengalaman yang pertama dijadikan pegangan dalam membuat strategi perang. Sultan Banten membenahi kondisi di dalam keraton, dan mengadakan musyawarah dengan para priyai beserta mantri-mantri dan para petinggi kesultanan Banten untuk membahas permasalahan yang dihadapinya saat itu. Sultan Banten mengharapkan seluruh warga keraton dapat sepaham dan sepemikiran dalam bertindak. Tidak terjadi perselisihan paham yang akan mengakibatkan kerugian bagi kesultanan Banten sendiri. Karena dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh kompeni dengan politik adu dombanya yang sangat populer saat itu.

Dalam benak Sultan terpikirkan untuk mengadakan serangan yang ke dua harus benar-benar dengan persiapan yang matang. Kemudian Sultan meminta bantuan kepada daerah tetangganya yang sama-sama memiliki tujuan sama.

Pada suatu waktu, datang salah seorang utusan yang membawa surat dari Raja Sunda Kalapa yang isinya mengajak Sultan Banten mengadakan penyerangan kepada kompeni di Batavia. Rupanya rencana yang sama dimiliki oleh Sultan Sunda Kalapa (Pangeran Jayakarta). Sultan Sunda Kalapa benar-benar mengajak Sultan Banten untuk mengusir kompeni, dengan memberikan peralatan perang seperti meriam, yang dikenal dengan Si Jagur. Selain memberikan si Jagur, Sultan Sunda Kalapa mengutus nakhoda kapal perang untuk membantu Sultan Banten dan memberi tugas untuk menjadi nakhoda kapal perang di Laut Sunda Kapala yang menggantikan nakhoda Banten.

Ketika menghadap Sultan Sunda Kalapa, embah Maryani diberi amanat agar secepatnya menghadap kepada Sultan Banten. Sehingga sejak saat itu embah Maryani dikenal dengan sebutan embah Jaketra, sebab hadirnya ke Banten karena menjalankan tugas dari Sultan Sunda Kalapa (Jaketra). Embah Maryani sebenarnya berasal dari Galunggung. Beliau lama di palabuhan Cirebon menjadi nakhoda salah satu kapal di palabuan Cirebon. Beliaulah yang sering berlayar antara Cirebon-Banten, Cirebon-Semarang, dan Cirebon-Madura. Embah Maryani merupakan salah seorang murid yang paling disayang oleh Pangeran Sumenep-Madura).

Sultan Banten mengadakan musyawarah dengan embah Maryani sehingga didapat kesepakatan bahwa Kesultanan Banten siap membantu Pangeran Jayakarta untuk mengusir kompeni. Dengan melibatkan daerah-daerah kerajaan lainnya yang berada di pulau Jawa untuk membantu, Sultan Banten merasa mempunyai kekuatan kembali untuk mengusir kompeni. Apalagi setelah mendapat bantuan dari para raja atau penguasa di daerah-daerah lainnya yang sama tujuan. Setelah kesepakatan didapat, maka seluruh pasukan yang dipimpin oleh masing-masing senopati; kesultanan Banten, kesultanan Sunda Kalapa, kesultanan Cirebon dan dari para petinggi perang kerajaan-kerajaan kecil di bawah kekuasaan kesultanan. Mereka siap siaga dengan peralatan masing-masing dan semangat yang menggebu-gebu untuk mengusir kompeni.

Sampailah pada waktu yang telah ditentukan untuk penyerangan. Perang berkecamuk. Pedang para prajurit terus membabi buta mencari sasaran, tombak-tombak dan panah melesat seperti burung gagak mencari mangsa bertabrakan dengan suara bedil dan meriam yang menghantar pelor-pelor kematian, menghantam serangan-serangan prajurit dari kesultanan. Perang ini benar-benar menggetarkan daerah Batavia.

Korban berjatuhan baik dari pihak pribumi maupun dari pihak kompeni. Para prajurit yang gugur di medan laga berserakan. Batavia menjadi lautan darah para prajurit.

Walaupun serangan begitu gencar namun Kompeni tetap tegar melawan serangan-serangan pribumi bahkan tidak kelihatan kewalahan. Kompeni saat itu mendapat bantuan dari raja-raja di luar pulau Jawa.

Angkatan Laut Banten, Sunda Kalapa dan Cirebon masih kelihatan semangat. Namun pasukan dari darat yang kelelahan bahkan lebih banyak korban. Para Prajurit yang berada di darat pada saat itu tertipu oleh kelihaian dan kelicikan kompeni, di mana kompeni membuat bedil mainan yang dibuat dari bambu besar dan membuat meriam yang di cat menggunakan aspal (ter). Meriam tersebut disimpan di setiap penjuru dan di tempat yang sangat strategis di kota Jaketra. Suara bom yang terdengar sebenarnya hanya suara bambu besar yang berisi karbit kemudian dimasukan api sehingga terdengar seperti suara bedil atau juga bom. Hal ini mengakibatkan para prajurit tunggang langgang melarikan diri menyelamatkan jiwa masing-masing.

Sedangkan Angkatan Laut Banten yang dipimpin Embah Jaketra (atau kami sebut saja Jayakerti II, karena embah Jaketra yang menggantikan posisi Senopati Jayakerti pada saat perang pertama), merasa kewalahan menghadapi kompeni. Hingga akhirnya kapal perang pasukan Banten hancur berkeping-keping dihantam meriam kompeni.

Setelah kapal perangnya hancur, embah Jakerta (Jayakerti II) sekuat tenaga menyelamatkan diri dengan menggunakan papan puing-puing kapal. Beliau berenang mencari perahu jukung (perahu kecil). Setelah mendapatkan perahu jukung, beliau diombang-ambing ombak laut yang tak menentu arah. Sehingga akhirnya sampai ke Selat Sunda. Embah Jaketra tidak sempat mendarat di Banten, karena diserang oleh para Bajo (Bajak Laut) pimpinan Ki Dipa, Ki Daeng dan Ki Tentreng. Mereka berasal dari Bugis (Makasar). Ketiga bajo tersebut merupakan antek-antek kompeni. Merekalah yang membantu kompeni dalam menyerang pasukan Banten, Sunda Kalapa dan Cirebon dari laut pada saat terjadi perang tersebut.

Embah Jaketra sangat hapal pada ciri-ciri perahu para bajo serta jurus, taktik dan tindakan para bajo tersebut dalam menghadapi musuhnya di laut. Untuk menyelamtkan diri, kemudian embah Jaketra mendarat di Labuan. Di sini beliau diselamatkan oleh Pati (Lulugu di Palabuan/Kepala Palabuan) Sawana-Banten.

Selang beberapa waktu embah Jaketra berada di rumah Pati Sawana. Kemudian embah Jaketra dikenalkan dengan seorang putri cantik yang bernama Nyi Putri Dewi Dapun Sabakingking. Putri tersebut ternyata adik Pati Sawana. Pada saat dikenalkan dengan Putri Dewi Dapun, embah Jaketra sangat kaget sebab ternyata putri tersebut istri embah Jayakerti yang meninggal pada saat perang. Embah Jaketra (Embah Maryani) merasa prihatin atas meninggalnya embah Jayakerti.

Para peminpin bajo (Ki Dipa, Ki Daeng dan Ki Tentreng) setelah mendengar bahwa embah Jaketra masih selamat, mereka menjadi penasaran. Apalagi mendengar bahwa suami Dewi Dapun telah meninggal dan embah Jaketra berada di situ, mengakibatkan timbul amarahnya. Mereka penasaran untuk mengadu ilmu kedigjayaan dengan embah Jaketra yang selalu selamat. Padahal pada saat perang, kapal embah Jaketra sudah mereka hancurkan. Mereka menyangka embah Jaketra sudah menjadi mayat namun ternyata masih selamat. Selain masih penasaran kepada embah Jaketra ternyata para bajo mengincar Nyi Putri Dewi Dapun Sabakingking untuk diculik.

Ketika Pati Sawana, embah Jaketra dan Pangeran Sumenep mengontrol situasi wilayah Selat Sunda. Para bajo tersebut menculik Dewi Dapun Sabakingking tanpa diketahui oleh siapapun. Kemudian Nyi Putri Dewi Dapun Sabakingking dibawa kabur oleh para bajo ke Gunung Madur (dekat Malingping-Banten Kidul daerah Cisolok). Tempat tersebut merupakan sarang para bajo. Dan disaat Pati Sawana, Embah Jaketra dan Pangeran Sumenep datang dari keliling mengontrol situasi wilayah Selat Sunda, mereka sangat kaget karena Dewi Dapun Sabakingking sudah tidak ada di rumah. Semua merasa terpukul hatinya atas kehilangan Dewi Dapun Sabakingking. Padahal sebelumnya Pati Sawana telah memberikan amanat dan tugas kepada anak buahnya untuk menjaga rumah Dewi Dapun Sabakingking.

Pati Sawana sangat sedih kehilangan adiknya. Beliau merasa curiga kepada bajo karena di dekat pintu dapur ditemukan sebuah gelang bahar yang biasanya dipakai oleh para bajo yang jatuh pada saat mereka mengait dan membuka selot pintu waktu menculik Nyi Putri Dewi Dapun Sabakingking.

Tanpa membuang-buang waktu embah Jaketra, Pati Sawana, Pangeran Sumenep bersama embah Jayadilaga langsung berangkat menuju sarang bajo. Setelah sampai di pesisir Citarate mereka bertemu dengan Ki Yuda dan Ki Gading. Mereka merupakan anak buah Embah Mardin penguasa palabuan Citarate. Embah Mardin berasal dari Galuh yang datang ke tempat itu karena terbawa arus gelombang air laut yang akhirnya beliau menetap di Citarate. Beliau diangkat sebagai lulugu/penguasa palabuan Citarate. Embah Mardin terkenal sebab kegagahan dan keberanian melawan bajo.

Dari ki Yuda dan Ki Gading anak buah Embah Mardin diperoleh informasi bahwa Nyi Putri Dewi Dapun Sabakingking dibawa ke Gunung Madur oleh para bajo. Dengan bantuan warga Citarate, rombongan Pati Sawana berangkat ke Gunung Madur untuk menyerang bajo.

Setelah tempat atau sarang bajo ditemukan maka terjadilah pertarungan yang sengit antara para bajo dengan pasukan Pati Sawana yang dibantu oleh embah Mardin. Segala macam ilmu kedigjayaan mereka keluarkan.

Disaat pertarungan sedang berlangsung embah Jaketra berhasil menyusup ke tempat Dewi Dapun disekap. Kemudian membawanya keluar. Sedangkan yang bertarung di luar semakin gencar. Namun lama-kelamaan pasukan rombongan Pati Sawana terdesak oleh para bajo, yang terlihat masih bersemangat dan gagah berani melawan bajo hanya embah Mardin sendiri. Embah Mardin juga mengalami kekalahan, seluruh anggota badannya dicincang oleh para bajo. Namun karena beliau mempunyai ilmu Rawarantek serta berkat izin yang Maha Kuasa, walaupun badan embah Mardin terpisah-pisah ahirnya bisa menyatu kembali seperti sedia kala. Embah Mardin oleh masyarakat Cimaja Palabuanratu dijuluki Embah Bardin, yang makamnya di Cimaja jalan ke Cisolok.

Pasukan Pati Sawana setelah merasa kewalahan menghadapi para bajo kemudian mundur secara teratur sambil membawa Dewi Dapun ke pinggir pantai. Para bajo terus mengejarnya. Namun bisa dihalangi oleh embah Mardin dan anak buahnya. Setelah sampai di pantai Citarate perahu jukung embah Jaketra telah dirusak oleh anak buah ki Dipa. Melihat perahu jukungnya rusak akhirnya embah Jaketra naik batang kayu yang berada di tempat itu. Embah Jaketra terombang-ambing di tengah laut, yang akhirnya sampailah ke muara Cipamarangan dekat laut Cikalapa atau laut Kutamara (sekarang disebut laut Minajaya).

Pati Sawana pun terombang-ambing di tengah laut dan terbawa arus angin sampai melewati Karangbolong. Dekat muara sungai kecil beliau baru mendarat, dengan kondisi yang memprihatinkan. Tidak lama kemudian beliau sakit dan meninggal. Oleh anak buahnya yang ikut saat itu beliau dimakamkan di Cilame.

Setelah Embah Jaketra sampai di pinggir muara Cipamarangan, beliau terus lari menuju ke arah Utara. Begitu juga Pangeran Sumenep, beliau terus dikejar anak buah para bajo. Pangeran Sumenep terus berlari mendahului embah Jaketra. Beliau mencari tempat yang aman dari kejaran musuhnya dan akhirnya sampai ke suatu tempat yang disebut Pasirlengis. Setelah merasa aman, beliau menetap di Pasirlengis. Beliau tidak mempunyai istri lagi di tempat itu. Di tempat itu beliau ikut dengan keluarga Ki Sanglar. Setelah meninggal, Pangeran Sumenep kemudian dimakamkan di Pasirlengis.

Dewi Dapun Sabakingking pada saat itu dibawa oleh eyang Jayadilaga. Mereka selamat dan berlabuh di sebelah Timur muara Karangbolong. Di tempat ini eyang Jayadilaga meninggal dunia. Beliau dimakamkan di hutan Parigi (di pinggir laut Parigi, sebelah Barat muara Ciroyom-Cikaso).

Kemudian Dewi Dapun dibawa oleh balad-balad eyang Jayadilaga ke keluarganya di Sawana - Labuan. Beliau kembali ke orang tuanya yang bernama Ambu Mangilang dan Pati Mundi Angsaba Ratu.

oOo

Embah Jaketra bersama anak buahnya terus berlari menghindari kejaran bajo hingga akhirnya sampai ke Babakan Panjang, ke Ciodeng tapi bajo-bajo terus mengejarnya. Di hutan Kekebet dekat dungus kamanggong atau sebelah Selatan Tegal Jolok Pantun (wilayah Desa Cipeundeuy sekarang), terjadi lagi pertarungan antara rombongan embah Jaketra dengan rombongan bajo. Di sinipun rombongan Jaketra kewalahan menghadapi para bajo, mereka berlari ke sebelah Timur dan sampailah ke sebuah hutan. Di sini mereka diperintah embah Jaketra untuk bersembunyi diantara dedaunan. Kemudian embah Jaketra menutupi salah seorang baladnya dengan selembar daun. Embah Jaketra mengeluarkan ilmu kedigjayaannya sambil memohon kepada Yang Maha Kuasa. Sehingga tempat tersebut oleh para bajo tidak kelihatan penghuninya. Yang mereka lihat hanyalah hutan belantara tanpa penghuni sehingga rombongan embah Jaketra selamat. Sejak kejadian ini, embah Jaketra dikenal dengan sebutan Embah/Eyang Siluman.

Para bajo merasa penasaran. Mereka terus mencari rombongan eyang Siluman. Ketika para bajo menemukan pasukan eyang Siluman, beliau kemudian memerintahkan anak buahnya untuk bersembunyi di sela-sela batu, yang banyak sarang lebahnya. Kemudian embah Jaketra memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk keselamatan anak buahnya. Tanpa diduga-duga, dari balik batu tersebut keluarlah lebah dan menyerang para bajo. Hal ini mengakibatkan para bajo berhamburan lari menyelamatkan diri dari kejaran lebah. Mereka terus dikejar sampai ke pesisir pantai sehingga mereka kembali ke Gunung Madur. Namun di tengah laut mereka diterpa badai sehingga seluruh pasukan bajo ditelan sagara laut selatan.

Tempat bersembunyinya rombongan embah Jaketra itu kini dikenal dengan sebutan Salenggang (sela-sela batu yang banyak lebah atau éngang, Bhs. Sunda). Setelah merasa aman, rombongan embah Maryani membuka hutan menjadi sebuah perkampungan yang disebut Kampung Salenggang.

oOo

Suatu ketika embah Maryani membuka hutan untuk bercocok tanam dan mendirikan gubuk untuk peristirahatannya. Ketika embah Maryani sedang berada di gubuk tempat dia bercocok tanam, banyak rusa yang mendekati gubuk beliau bahkan bergerombol. Rusa yang paling besar melihat ke embah Maryani yang sedang mengawasi rusa-rusa tersebut. Embah Maryani merasa heran sebab biasanya juga tidak pernah ada rusa yang mendekati gubuknya. Kemudian oleh embah Maryani rusa-rusa tersebut di suruh menjauhi gubuk. Awalnya beliau merasa kasihan karena para pemburu rusa akan berdatangan ke tempat itu. Kemudian embah Maryani turun dari gubuk dan mendekati rusa-rusa tersebut. Embah Maryani malah dibuat bingung sebab rusa tersebut bukannya menjauhi malah lebih mendekati embah Maryani. Timbul rasa iba dalam diri embah Maryani kepada rusa-rusa tersebut.

Terdengar dari kejauhan suara bedil pemburu yang semakin mengarah pada gubuk yang beliau tempati. Embah Maryani kemudian mengambil daun terus di tumpuk-tumpukan pada rusa-rusa yang berada di situ. Setelah itu beliau memadamkan api yang masih menyala di pinggir gubugnya kemudian beliau naik lagi ke gubuknya.

Para pemburu rusa merasa kesal sebab belum mendapatkan buruannya. Sedangkan hari menjelang sore dan peluru bedilnyapun hampir habis. Karena merasa lelah dan merasa lapar serta rasa kantuk menyerang akhirnya tetua rombongan mengajak untuk beristirahat di bawah pohon yang paling besar. Dan akhirnya mereka tertidur pulas di bawah pohon itu.

Pagi harinya para pemburu rusa terbangun mereka sangat terkejut sebab pohon kayu besar tempat mereka beristirahat berubah menjadi sebuah gubuk. Di sana terdapat kaneron yang isinya seperti timbel nasi. Mereka mencari pemilik gubuk tapi tidak ditemukan. Mereka kaget ketika membuka bungkusan yang mereka sangka nasi ternyata isinya peluru bedil yang mereka gunakan untuk menembak rusa-rusa kemarin.

Setelah kejadian itu maka setiap yang mau berburu ke tempat itu selalu minta izin dulu kepada embah Maryani. Julukan eyang Siluman semakin menyebar di kalangan masyarakat saat itu karena sudah beberapa kali embah Maryani bisa mengaburkan pandangan orang lain.

Setelah bermukim di Kampung Salenggang embah Maryani menyebarkan ajaran agama Islam seperti ayahnya Entol Martadilaga (Mardilaga). Beliau merupakan santri dari pesantren Sindangkasih ketika di Singaparna dan juga sebagai santri tamatan pesantren Godog-Pamijahan. Dalam penyebaran agama Islam beliau menggunakan beberapa cara salah satunya yaitu melalui Wayang Beber.

Dalam memainkan wayang beber beliau dibantu oleh Raden Sungging Permana. Beliau adalah seorang dalang yang berasal dari Majapahit. Beliau berada di sebuah goa dekat kampung Salenggang. Raden Sungging Permana belajar wayang beber dari embah Dalem berasal dari Garut dekat Gunung Papak dan terkenal dengan sebutan Pangeran Papak. Ukuran wayang beber sekitar 2,5 meter dan duplikatnya berada di museum Sri Baduga Bandung.

Tempat persembunyian Raden Sungging Permana kemudian dikenal dengan sebutan Gunungsungging, termasuk goa yang beliau tempati saat itu dikenal dengan nama Goa Gunungsungging. Arti dari nama Gunungsungging adalah keinginan yang tinggi untuk menjadikan daerah yang makmur, gemah ripah loh jinawi.

Embah Maryani menikah dengan Siti Sarilayung (berasal dari Gandasoli) sebagai istri yang pertama. Siti Sarilayung dikenal dengan sebutan Siti Humairah (yang kemerah-merahan) yang mempunyai keturunan sebanyak 3 orang; 1. Meung Kolot (Ilem), 2. Meung Iko, 3. Meung Beurang/Ming Emas. Istri yang kedua dari embah Maryani adalah Siti Zenab dan mempunyai keturunan sebanyak 3 orang; 1. Meung Enji, 2. Bapung Asep Nuji, 3. Bapung Enus/Jaiham.

Semasa hidupnya Embah Maryani selain sebagai guru mengaji juga suka mengobati orang-orang yang sakit di sekitar kampungnya serta meramu obat-obatan. Beberapa ramuan dan nama obat-obat tertentu kemudian beliau tulis dengan tinta jelaga (mangsi Cirebon) dalam buku menyerupai kulit kayu atau sering disebut Buku Hideung. Buku tersebut sudah dilaporkan Penilik Kebudayaan Kecamatan Ciracap, Bapak Ansor Sudaya bahkan sudah dibaca oleh Tim Kepurbakalaan Jawa Barat tahun 1974.

Embah Maryani setelah wafat dimakamkan di Salenggang-Gunungsungging. Sehingga sampai sekarang sebutan Eyang SALENGGANG masih melekat di pendengaran masyarakat.



ooOoo


Di salin dari "Buku Sejarah Surade"
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366

Demikian Catatan Kecil tentang :
Terima kasih atas kunjungannya dan "Selamat Berkreasi Semoga Sukses"

Selanjutnya 
« Prev Post
 Sebelumnya
Next Post »

Catatan Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !

Sejarah Embah Maryani Eyang Siluman Gunungsungging