Kisah Perjalanan Eyang Martadilaga dan Eyang Tanjung



Cerita Rakyat yang berkaitan dengan Naskah
Piagam Ki Dipati Galunggung



Nama MARDI yang terdapat pada naskah Ki Dipati Galunggung adalah MARDILAGA atau juga masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan Entol Martadilaga. Beliau merupakan Dalem penghulu Singaparna, Galunggung-Ciamis. Beliau memiliki saudara berjumlah lima orang yang mengembara ke pelataran Surade, ada yang ke Cibitung, ke Bojonglopang, ke Kalibunder yaitu di Kampung Mataram Lengkong.


Kisah Entol Martadilaga dan Eyang Tanjung



P ulau Jawa pada saat itu berada dalam kondisi jajahan Belanda yang bermarkas di Sunda Kelapa atau Batavia atau Jaketra (Jakarta sekarang). Kondisi yang tidak kondusif dirasa oleh seluruh penduduk pulau Jawa tidak terkecuali para pemimpin dari tiap daerah kekuasaan Belanda. Situasi itulah yang membuat Sultan Mataram geram dan bertekad untuk melenyapkan Belanda dari pulau Jawa. Kemudian Sultan menghimpun seluruh kekuatan yang berada di pulau Jawa. Sehingga dengan persatuan yang kokoh, pengerahan kekuatan untuk melawan kompeni lebih besar. Tidak terkecuali Dalem Sawidak. Beliau adalah Dalem Sukapura-Galuh. Beliau memimpin penyerangan markas kompeni di Batavia atas perintah Sultan Mataram.

Ki Dipati Galunggung mendengar putranya Entol Martadilaga akan menyerang Belanda di Jaketra. Kemudin beliau membuat surat yang ditujukan kepada ki Alam untuk menitipkan keturunannya. Bunyi surat tersebut sebagai berikut :

punika ingkang pikukuh kangjeng Ki dipati galunggung
kagaduh hana dening pun kakang Alam milane
sun gaduh hi pakukuh da kang titiyang nenem
sumo, mardi )*, kasan, genah, hemi, sarak
sun titip paken hing wolung
ngawu yen ana kang anisiku di lan dadi
Pikukuh manira wus maren ki alam
katampa dening anak manira pun wisaprana
wus maren pun wisaprana katam pa dening
pun natawisa.
tatkala nurat hing dina jumahat sasih jumadil
lahir tanggal pat likur tahun he. titip.


Ini piagam Ki Dipati Galunggung ditujukan untuk kakanda ki Alam. Sebab beliaulah yang semestinya memegang dan memiliki surat seperti yang ia terima ini.
Bahwa piagem harus dipegang teguh selamanya sebagai pemegang amanat (atas titipan) akan keturunanku sebanyak enam orang, yaitu : SUMO, MARDI, KASAN, GENAH, HEMI, SARAK.
Aku titipkan mereka padamu selama beberapa waktu.
Aku titipkan mereka dan bimbinglah/lindungilah mereka selama mereka berpetualang, Jangan sampai ada yang mengganggu. Piagem ini telah diterima pula oleh anaknya (Ki Alam) Wisaprana dan juga telah diterima pula oleh Natawisa. Waktu Surat ini ditulis pada hari Jumat bulan Jumadilakhir, tanggal duapuluh empat, Tahun HE.
Titip.

Sebelum penyerangan terjadi, Dalem Sawidak memohon nasihat dan bantuan Syeh Abdul Muhyi (Sunan Godog, Pamijahan-Garut) selaku pembina dan pelatih para santri di Godog masa itu. Mereka dikerahkan untuk menyerang Jaketra.

Sunan Godog membentuk dua kekuatan yang dipimpin masing-masing oleh Entol Martadilaga dari Singaparna-Galunggung dan Senopati Jayaperkosa yang berasal dari Sumedang. Entol Martadilaga (Dalem Penghulu Singaparna) dibantu oleh Alibasyah dan Citrowagolo yang berasal dari Banyumas. Sedangkan Jayaperkosa dibantu kedua anak angkatnya yaitu Raksawijaya dan Nayasantana yang keduanya merupakan santri-santri dari Pesantren Amparan-Jati, Cirebon.

Dengan perlengkapan senjata yang dianggap lengkap saat itu, berangkatlah beberapa resimen tempur dikerahkan serta beberapa divisi menuju palagan Jaketra.

Setelah menempuh perjalanan berat, sulit, dan memakan waktu lama, tibalah divisi mereka ke tempat dekat perbatasan yaitu di sekitar Gudang Bata sekarang. Mereka berjaga-jaga sambil istirahat sesuai perintah komando yang menempati pinggiran Ciliwung yaitu Suradihara. Sambil menunggu bantuan dari divisi/kekuatan lainnya seperti Ngabehi Caroyuda yaitu armada Angkatan Laut yang dipimpin oleh Tumenggung Bahurekso dan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang masih menyisir pantai utara.

Ketika menunggu armada laut, beberapa kekuatan yang ada dan tiba terlebih dahulu seluruhnya dikerahkan untuk membendung sungai agar Kompeni kekurangan air. Tapi sia-sia karena bala bantuan yang ditunggu sangat terlambat dan kekuatan mulai lemah akibat kerja yang ekstra tanpa ada pengganti sekalipun datang sepasukan tiba lagi untuk menambah kekuatan yang dipimpin oleh Syeh Abdul Mukodar dan pada saat itu pula mereka ditugasi membangun rumah-rumah kecil dan membuka per-kampungan untuk dijadikan tempat berlindung dari segala marabahaya.

Untuk penyerangan markas Kompeni di Batavia direncanakan menggunakan serangan segala penjuru. Namun bantuan dari Angkatan Laut belum juga datang, sedangkan keadaan memaksa untuk melakukan perlawanan karena tanpa diduga dari pihak kompeni menyerang terlebih dahulu hingga akhirnya dengan pasukan yang sedikit dan perlengkapan seadanya mereka harus perang melawan pasukan kompeni. Senjata yang dipasang dari 4 penjuru sangat lengkap membuat pasukan Mataram serta merta tanpa komando seluruh pasukan kabur terpencar, tersebar karena untuk menghindar dari serangan musuh.

Pasukan yang lari menghindari serangan musuh di bawah pimpinan Syeh Abdul Mukodar dan Jayaperkosa tiba di Kp. Mandalika, tepatnya Gununggeulis, Cikembar. Kemudian ke Sukatani-Pabuaran sekitar Bojonghaur-Lengkong yang kini terkenal kampung Mataram (7 km dari Lengkong ke arah Kalibunder).

Selain dari pasukan di atas; pasukan yang dipimpin Sembah Dalem Panyalahan lari sampai Citarate-Cisolok, Palabuanratu. Pasukan yang dipimpin Suramanggala lari ke Binong-Lembursitu, Sukabumi sedangkan pasukan pimpinan Pranabangsa lari ke Pabuaran-Dayeuhluhur.

Prajurit dari Kerajaan Talaga (Cirebon Girang) di bawah pimpinan Syeh Abdul Mukodar membuka hutan di Citalahab-Bojonglopang. Tetapi kemudian mereka mengikuti jejak Jayaperkosa atas nasihat Wirasuta menyatukan diri beserta pasukannya membuat perkampungan Mataram dan bersama-sama untuk tinggal di tempat itu. Disebut kampung Mataram karena mereka berasal dari para prajurit Mataram. Dan menjelang usia tuanya, mereka bersama-sama mendirikan pesantren serta membangun benteng yang disebut Kutajero. Dan menugaskan kepada Nayasantana dan Raksawijaya sebagai Ulu-Ulunya yang bertugas menggali parit yang disebut Kalibunder. Ketika Jayaperkosa menjadi guru mengaji di daerah tersebut beliau dijuluki Mama Ajengan Beleketek. Namun setelah wafat Jayaperkosa atau Ajengan Beleketek dimakamkan di Kp. Tanjung dan dikenal dengan Eyang TANJUNG. Sedangkan kedua putra angkatnya yaitu Raksawijaya dan Nayasantana dimakamkan di Cibitung-Kalibunder.

Demikian pula Syeh Abdul Mukodar dan Wirasuta setelah wafatnya dimakamkan di Pasarean Tanjung-Batukasur, terletak di Kalibunder.

Adapun Entol Martadilaga, bersama Alibasyah, kemudian menyebarkan ajaran Islam di Karadenan Cibitung tepatnya sebelah Selatan Jampangkulon sekarang. Kemudian Entol Martadilaga setelah wafat dimakamkan di Gunung Srampo sebelah Timur Sungai Cikaso, sedangkan jenazah Alibasyah dipusarakan di Karangbolong.



ooOoo


Di salin dari "Buku Sejarah Surade"
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366


Demikian Catatan Kecil tentang :
Terima kasih atas kunjungannya dan "Selamat Berkreasi Semoga Sukses"

Selanjutnya 
« Prev Post
 Sebelumnya
Next Post »

Catatan Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !

Kisah Perjalanan Eyang Martadilaga dan Eyang Tanjung