Rd. Jagabaya sering merenung memikirkan keadaan pemerintahannya yang semakin hari semakin terpuruk karena kondisi rakyatnya yang kian melemah sehingga kian terdesak oleh musuh. Beliau merasa kewalahan karena untuk merebut kembali wilayah kekuasaannya dari Mataram dan Belanda sangat tidak mungkin. Sebab kekuatan Galuh semakin berkurang. Rakyatnya nampak lesu dan sering mengalami kelaparan. Prajuritnya nampak lemah karena kelelahan akibat sering berperang. Sedangkan pada saat itu sedang terjadi perang antara Mataram dengan kompeni akibat kompeni selalu ikut campur di wilayah pemerintahan kekuasaan Mataram.
Mohon maaf sedang dalam perbaikan/revisi, silahkan kunjungi lagi dilain waktu untuk mendapatkan Update terbaru
Bahkan yang lebih menyakitkan lagi ketika beliau mendapat berita bahwa Kompeni telah memberhentikan putranya yaitu Rd. Suranangga (Demang Pasirbatang) dan juga memberhentikan orang kepercayaan beliau yang bernama Rd. Surabujangga (Demang Wanasari Kaligangsa-Brebes), tanpa jelas kesalahannya.
Kompeni mengangkat Jonggosuro menggantikan Demang Rd. Surabujangga dan mengangkat Brojonoto (asal Banyumas) menggantikan Demang Rd. Suranangga. Selain itu Kompeni melalui R. Adipati Danu Sumadinata atau yang dikenal dengan sebutan Aom Danu, memberi perintah pada Rd. Jagabaya agar mengerahkan seluruh prajuritnya melawan bala tentara Mataram di sebelah Timur sungai Citanduy yang telah siap menyerang dan menghancurkan kekuasaan Kompeni. Apabila Rd. Jagabaya tidak mengindahkan perintah kompeni maka ia pun diancam akan diberhentikan dari tahtanya sebagai bupati.
Perasaan marah juga sedih bercampur pada satu situasi. Akibat kabar pemberhentian putranya dan orang kepercayaannya dari jabatan secara tiba-tiba dan adanya perintah kompeni untuk memimpin pasukan dalam rangka melawan Mataram yang pada saat itu keadaan prajuritnya sudah sangat lemah dan kecil kemungkinan untuk mampu hidup di medan perang. Tapi dalam keterpurukannya itu, Rd. Jagabaya tidak menyerah begitu saja karena jiwa patriot yang dimilikinya tetap menggelora.
Untuk menjaga hal-hal yang tidak diharapkan, maka Rd. Jagabaya merencanakan mengangkat putranya yang bernama Rd. Suranangga untuk menggantikan dirinya sebagai Bupati Galuh Imbanagara. Dengan mengangkat putranya sebagai bupati diharapkan dapat memulihkan kembali kondisi pemerintahan Galuh serta dapat menjaga dari segala marabahaya yang ditimbulkan akibat terjadinya perang antara Mataram dan kompeni.
Pada saat itu, tiba-tiba datang utusan dari Mataram melalui Rd. Mas Santanu membawa amanat Sultan yang memerintahkan agar Rd. Jagabaya mengirimkan bala tentaranya ke perbatasan untuk mencegat prajurit kompeni yang akan melintas di pinggir sungai Citanduy dari arah Utara. Mataram pun memberikan ancaman bahwa apabila perintahnya tidak diindahkan oleh Rd. Jagabaya maka beliau akan diberhentikan dari jabatan bupatinya serta akan memberhentikan kedua putranya yaitu Rd. Mas Martanagara yang menjadi Demang Pasirluhur dan Rd. Surawiangga yang menjadi Demang Panjalu. Bahkan Sultan tidak segan-segan akan memberi hukumannya (hukum Pancung, Tugel Jangga, Godog, hukum gantung, hukum picis, dan sanksi hukum lainnya yang berlaku saat itu), kepada Rd. Jagabaya apabila beliau tidak bisa memenuhi perintah Sultan Mataram.
Rd. Jagabaya merasa serba salah, karena di satu pihak yaitu kompeni memerintahkan agar mengirimkan prajurit-nya untuk melawan pasukan Mataram, di pihak lain Mataram memerintahkan agar mengirimkan prajuritnya untuk melawan kompeni. Di sisi lain Rd. Jagabaya merasa iba kepada prajuritnya yang sudah merasa kelelahan akibat berperang.
Di tengah-tengah kepanikan serta kebingungannya bagaimana ia harus berupaya atau bertindak, saat itu pula datang utusan dari kompeni yang membawa surat pemberhentian dirinya dari jabatan Bupati Galuh Imbanagara, kemudian Belanda mengangkat R. Adipati Danu Sumadinata sebagai penggantinya. Pemberhentian Rd. Jagabaya dari Bupati Galuh Imbanagara yang kemudian diganti oleh R. Adipati Danu Sumadinata, terjadi sekitar tahun 1751. R. Adipati Danu Sumadinata pernah menjadi tahanan Mataram sebelumnya. Tidak lama kemudian datang pula utusan Mataram yang membawa surat pemberhentian Rd. Jagabaya dari jabatan bupati Galuh Imbanagara dan sebagai penggantinya Mataram mengangkat Brojonoto. Selain itu Mataram memberhentikan pula Rd. Mas Martanagara dari Demang Pasirluhur dan Rd. Surawiangga dari Demang Panjalu.
Rd. Jagabaya merasa terhina bukan kepalang atas pemberhentian dirinya dari jabatan bupati serta pemberhentian putra-putranya dari demang. Hatinya luluh lebur seperti terpukul, amarahnya semakin memuncak, keinginannya meronta-ronta untuk memberontak melawan Mataram dan mengusir Kompeni. Tapi apa daya, kakinya terasa seperti terpaku pada tanah, darahnya terasa panas, giginya terasa gemetar, tubuhnya kaku seperti membeku. Dia tidak bisa berbuat apa-apa karena jika harus melawan Mataram dan mengusir kompeni berarti dia harus mengorbankan prajurit dan rakyatnya. Dia tidak tega melihat rakyatnya semakin menderita.
Rd. Jagabaya beserta putra-putrinya mempunyai jiwa patriot, sehingga mereka tidak langsung mengadakan perlawanan dengan mengorbankan rakyatnya tapi mereka membuat taktik dan menyusun strategi dalam menghadapi Mataram maupun Kompeni. Kemudian Rd. Jagabaya bersama putra-putrinya yaitu Rd. Surawiangga, Nyi Rd. Mas Raksanagara, Rd. Mas Martanagara, Rd. Suranangga dan Nyi Rd. Dewi Suramanggala (Suria Inggala) dan tak ketinggalan dengan Rd. Surabujangga (orang kepercayaan Rd. Jagabaya), mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluar yang terbaik. Akhirnya mereka mengambil kesepakatan untuk mengungsi atau meloloskan diri dari ancaman kompeni maupun Mataram, untuk menyusun strategi dan kekuatan kembali. Rd. Jagabaya memberikan kepercayaan yang penuh kepada Rd. Surabujangga untuk menjaga (melindungi) dan membawa putra-putrinya dalam pengungsian. Rd. Jagabaya memberikan kepercayaan yang penuh kepada Rd. Surabujangga, karena Rd. Surabujangga adalah orang yang selalu patuh dan hormat padanya sehingga keluarga Rd. Jagabaya sudah menganggap saudara kepada Rd. Surabujangga. Kemudian mereka mengungsikan Rd. Jagabaya ke kampung Pamungguan (dekat Kp. Paniisan-Bolenglang, tidak jauh dari Kp. Jambansari–Ciamis).
Setelah Rd. Jagabaya diungsikan, maka pada suatu malam seluruh putra-putri Rd. Jagabaya bersama para pengawal dan para pengikutnya yang masih setia (sekitar ± 60 kuren/keluarga) dibawah pimpinan Rd. Surabujangga, tanpa diketahui pihak musuh mereka meloloskan diri ke arah Barat. Mereka bercita-cita ingin mengusir para penjajah.
Setelah melewati bukit terjal, mendaki punggung gunung, menyebrangi sungai, menapak bibir jurang yang terjal dan menyisir semak belukar, akhirnya mereka sampai ke suatu tempat yang penuh dengan pohon kanyere. Di situlah mereka tinggal untuk sementara, sambil membuka hutan, membuka ladang dan menjadikan sebuah perkampungan. Tempat tersebut kini disebut Kp. Jagabaya, tidak jauh dari Cililin Bandung Selatan. Tetapi tempat itu segera mereka tinggalkan pula karena merasa khawatir terlalu mudah untuk ditemukan lawannya dan hanya beberapa kuren saja yang tinggal disana. Mereka yang tetap di tempat tersebut sengaja ditinggalkan dan diberi tugas untuk memantau dan menyadap berita dari kompeni maupun dari Mataram.
Kemudian putra putri Rd. Jagabaya dan pengikutnya yang lain, meninggalkan tempat tersebut menuju ke arah barat melalui pinggir pantai selatan. Berhari-hari mereka berjalan, rasa lelah dan rasa letih sudah tidak dirasa, dalam benak mereka hanyalah mencari tempat yang aman dari kejaran musuh. Semakin hari semakin jauh, dan sampailah ke Cilauteureun, Pameungpeuk. Di sini mereka singgah untuk sementara waktu. Kemudian mereka melanjutkan perjalanannya ke arah barat, dan sampai pula ke Bangbayang melintasi sungai Cikaso dan akhirnya tiba di suatu tempat yang banyak Batu Kacanya (di daerah Pasir Kanyere–Cibitung/Cicurug-Jampangkulon). Rombongan putra-putri Rd. Jagabaya yang sampai ke tempat pelataran Jampang sekitar 40 kuren, sedangkan yang lainnya sengaja mereka tinggalkan untuk memudahkan pemantauan terhadap gerakan musuh. Di tempat ini mereka berpencar untuk menyelamatkan induk pasukan yang dipimpin oleh Rd. Surabujangga bekas demang Wanasari-Kaligangsa (Brebes). Dan mereka diperintahkan untuk membuka hutan harus sesuai dengan kesepakatan sebelumnya, yaitu dalam membuka ladang atau mendirikan perkampungan harus selalu di tempat yang penuh pohon kanyere. Dan ini penting diperhatikan oleh setiap rombongan. Hal ini bertujuan untuk saling mengenal dan untuk memudahkan di dalam pencarian oleh rombongan lainnya juga untuk memudahkan dalam memberikan pertolongan atau bantuan apabila musuh datang menyerang dan bahaya lainnya.
Pasir Kanyere memiliki arti tersendiri bagi putra-putri Rd. Jagabaya, yaitu dari suluk (siloka/simbul) "Pasiring kanyenyerian" artinya tersisih, terusir, terisolir atau tersingkirkan karena disakiti atau karena sakit hati.Sesuai dengan kesepakatan, konon rombongan Rd. Surabujangga bersama istrinya Nyi Rd. Wulansari (Doeh) yang dibarengi oleh Embah Samleg, mereka membuka hutan di Pasir Kanyere Gandasoli yaitu di daerah Citanglar (sekarang Desa Ciparay Kecamatan Jampangkulon).
edangkan Rd. Suranangga bersama istri tercintanya yaitu Ming Maung Mangale-ngale Jukung, membuka hutan di Pasirkanyere yaitu di sebelah selatan dari kampung Kateu. Di situlah Rd. Suranangga membuat perkampungan sebagai tempat peristirahatannya. Ditengah-tengah ladang milik penduduk, beliau membuat Saung Ranggon (dangau) sebagai tempat pertemuan kaum kerabatnya, tempat bercengkrama disaat-saat istirahat dari berburu atau disela-sela istirahat menggarap ladang mereka. Pohon Suradita di sekelilingnya memberikan kenyamanan dan kesejukan untuk berteduh dan bernaung sambil menghirup udara segar yang berhembus dari semilir angin segara pantai. Banyak orang merasa betah untuk singgah sambil duduk bersila atau bahkan tertidur pulas dengan berhamparan rumput surage yang empuk dibawahnya. Kini tempat tersebut bernama kampung Sindangpalay.
Adapun Nyi Rd. Raksanagara, putri tertua Rd. Jagabaya, ia membuka hutan di Pasirkanyere, Bangbayang (pinggiran Sungai Cikaso-sebelah Timur). Sedangkan Rd. Surawiangga membuka hutan di Pasirkanyere pinggir sungai Cidemang yaitu di Karadenan Kecamatan Cibitung. Dan Rd. Mas Martanagara membuka hutan di Cikored-Citanglar sebelah Timur Citanglar.
Lolosnya Rd. Jagabaya beserta putra-putrinya, akhirnya diketahui juga oleh Mataram. Sehingga Sultan Mataram memerintahkan Ki Mas Santanu untuk menangkap Rd. Jagabaya beserta putra-putrinya termasuk para pengikutnya. Sultan Mataram memberikan ancaman kepada Ki Mas Santanu bahwa apabila tidak bisa menangkap Rd. Jagabaya beserta putra-putrinya, maka beliau akan dihukum gantung. Akhirnya Ki Mas Santanu yang diikuti oleh beberapa pengawal dan prajurit Mataram, berangkat untuk mencari Rd. Jagabaya beserta putra-putrinya.
Berita lolosnya Rd. Jagabaya beserta keluarga terdengar pula oleh Kompeni. Sehingga kompeni melalui Danu Sumadinata memerintahkan Brojonoto untuk mengejar keluarga Rd. Jagabaya. Kompeni pun memberikan ancaman kepada Brojonoto, bahwa apabila tidak bisa menangkap keluarga Rd. Jagabaya maka beliau akan diberi hukuman yang berat.
Ki Mas Santanu bersama para pengawalnya berangkat menuju ke arah barat, sebagaimana informasi yang didapat bahwa keluarga Rd. Jagabaya meloloskan diri ke arah barat. Setelah menempuh perjalanan yang sulit, akhirnya mereka menemukan jejak putra-putri Rd. Jagabaya. Mereka menemukan persembunyian Nyi Rd. Raksanagara di daerah Bangbayang–Cikaso. Kebetulan di situ ada Rd. Mas Martanagara. Akhirnya terjadilah pertarungan antara pasukan Mataram yang dipimpin oleh Ki Mas Santanu dengan pasukan Rd. Mas Martanagara. Kedua belah pihak saling menyerang dan saling bertahan. Segala kemampuan dan peralatan yang ada dikerahkan, sehingga pertempuran pun semakin seru dan menegangkan. Korban mulai berjatuhan baik dari pihak Mataram maupun dari pihak Rd. Mas Martanagara. Dalam keadaan pertarungan sedang sengit, datang pula rombongan utusan Kompeni yang dipimpin Brojonoto. Mereka langsung melarutkan diri dalam pertarungan tersebut, sehingga kekuatan menjadi tidak seimbang. Pasukan Mataram merasa ada bantuan dan kekuatan dengan kedatangan rombongan Brojonoto.
Melihat kedatangan Brojonoto bersama pasukannya yang langsung menyerang, membuat Rd. Mas Martanagara menjadi kaget. Sehingga pada saat itu Rd. Mas Martanagara menjadi lengah. Kondisi lengahnya Rd. Mas Martanagara dijadikan kesempatan oleh musuhnya yang membokong dari arah belakang dengan sabitan pedang, tapi untung saat itu Nyi Rd. Raksanagara melihatnya dan mencoba untuk menolongnya. Tapi sabitan pedang tersebut malah mengenai tubuh Nyi Rd. Raksanagara sehingga beliau terluka parah dan akhirnya meninggal di medan perang. (Nyi Rd. Raksanagara dimakamkan di Telukjati – Cikaso).
Di curug pangperangan, Brojonoto terus bertarung tiada hentinya, Rd. Mas Martanagara terus bertahan. Pertarunganpun semakin seru. Rd. Mas Martanagara akhirnya membuat siasat untuk mundur secara teratur dan membawa lari pasukannnya ke arah Selatan, untuk menghindari musuhnya agar tidak mendekati induk pasukan yang berada di perkampungan baru yaitu di Karadenan–Cibitung. Ia mencoba memancing musuh agar mengejarnya dan sampailah ke suatu tempat yang disebut Cilame. Di tempat inilah kedua belah pihak bertarung habis-habisan. Dan akhirnya Brojonoto merasa kelelahan sehingga mengalami kekalahan. Seluruh tubuhnya bersimbah darah karena terkena pedang Rd. Mas Martanagara. Setelah meninggal, Brojonoto dimakamkan di dekat batu tumpang pinggiran pantai, dan kini banyak orang menyebutnya kuburan Embah Beureum (makamnya tidak jauh dari pinggir pantai Karangbolong–Kecamatan Cibitung).
Dengan kekalahan Brojonoto membuat Ki Mas Santanu menjadi kewalahan. Sehingga beliau bersama para pengawalnya melarikan diri. Begitu juga dengan anak buahnya Brojonoto yang masih hidup menjadi kalang kabut, sehingga sebagian dari mereka ada yang memaksakan diri mencari jalan untuk pulang ke Galuh, tetapi sebagian lagi berbaur dan mengikuti Ki Mas Santanu.
Balad Kompeni yang pulang ke Galuh kemudian melaporkan kejadian meninggalnya Brojonoto kepada Danu Sumadinata. Danu Sumadinata menjadi tambah murka mendengar laporan yang diterimanya, maka dengan segera beliau mengutus Jonggosuro dan Ki Jebeng untuk menangkap dan membawa putra-putri Rd. Jagabaya ke Galuh, baik dalam keadaan hidup maupun mati.
Balad Brojonoto yang bergabung dengan Ki Mas Santanu membuat pangkalan pertahanan bersama balad-balad Ki Mas Santanu. Tempat yang dipergunakan markas pertahanan Ki Mas Santanu dahulu kini dikenal dengan nama kampung LEGOK JAWA, berlokasi di Desa Cipeundeuy Kecamatan Surade.
Sedangkan Rd. Mas Martanagara setelah mengalami peristiwa pertarungan dengan pasukan Mataram pimpinan Ki Mas Santanu dan pasukan Kompeni pimpinan Brojonoto, selang beberapa waktu beliau membuka hutan dan membuat perkampungan di Cilame. Setelah beliau wafat, oleh masyarakat dipusarakan di Karang Bolong dan dikenal dengan sebutan Eyang Karangbolong.
Ki Mas Santanu yang diberi tugas untuk menangkap keluarga Rd. Jagabaya, malah berbalik haluan. Beliau berniat untuk tidak kembali ke Mataram, karena jika kembali ke Mataram dengan tangan hampa maka sudah dapat dipastikan ia akan mendapatkan hukuman dari Sultan yaitu hukuman pancung. Kemudian beliau mencari tempat persembunyian Rd. Suranangga.
Disela-sela kekesalan dan kesepiannya, Ki Mas Santanu teringat akan kecantikan paras Nyi Putri Dewi Suramanggala (Nyi Putri Suradewi), adik Rd. Suranangga. Ki Mas Santanu pernah melihat Nyi Putri Suradewi ketika beliau memberikan surat dari Sultan pada saat memberhentikan Rd. Suranangga menjadi Demang Pasir Batang. Ki Mas Santanu merasa terpikat oleh kecantikan Nyi Putri Suradewi sehingga dalam benaknya terbersit keinginan untuk melamarnya. Akhirnya Ki Mas Santanu bertekad untuk mencari persembunyian Nyi Putri Suradewi. Dalam pencarian Nyi Putri Suradewi, Ki Mas Santanu malah tersesat di hutan belantara, dan semakin jauh ke arah utara, dan akhirnya beliau tersesat sampai ke daerah yang kini disebut kampung Cangklek, yaitu di daerah Cianjur.
Peristiwa pertarungan di Curug Pangperangan telah menyadarkan Rd. Surawiangga beserta saudara-saudaranya. Mereka harus mampu meningkatkan kewaspadaan dan selalu siap siaga dalam menjaga keamanan dan ketentraman kampungnya. Kerjasama, gotong-royong, silih asah, silih asih, silih asuh, saling tolong menolong antar sesama adalah warisan nenek moyang yang harus dipelihara dan diindahkan. Begitulah kehidupan pada saat itu, dan dapat dirasakan diwaktu mereka mengalami berbagai kesulitan. Mereka sama–sama saling meringankan beban hidup, sesuai peribahasa “Ringan sama dijinjing berat sama dipikul, Ke bukit sama mendaki ke jurang sama menurun”. Sesuai ungkapan sunda “ka cai jadi saleuwi ka darat jadi salebak”. Keadilan dapat dirasakan, begitulah kehidupan di saat itu.
Untuk menghindari dan mencegah dari segala marabahaya, kemudian Rd. Surawiangga bersama istrinya Nyi Rd. Teja Karaton yang diikuti para pengawalnya mencari tempat yang lebih aman dari kejaran musuhnya dan sampailah di suatu tempat di bawah kaki Bukit Pasirpogor (Jampangkulon). Menurut Rd. Surawiangga, bukit terjal yang ditemukannya itu merupakan sebuah anugrah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tempat tersebut merupakan benteng alam yang sungguh luar biasa bagi siapapun. Dengan tebingnya yang curam bukan saja tempat berlindung untuk bersembunyi dari kejaran musuh tetapi sangat indah menawan dengan panorama di sekitarnya sungguh sangat menakjubkan. Dari puncak bukit itu, terlihat hamparan hutan hijau lebat serta hamparan laut berwarna biru. Di bawah bukit ini terdapat lembah yang subur yang dapat diandalkan dalam melawan kelaparan. Kemudian bersama para pengikutnya Rd. Surawiangga membuka hutan untuk dijadikan ladang dan sawah yang tak putus oleh kemarau karena dialiri mata air sungai. Di tempat itu berdiri perkampungan yang dihuni padat penduduk dari kerabat-kerabatnya dan para pendatang lainnya. Perkampungan itu disebut Pa-Imbanagara-an. Pa = menunjukan tempat asal, Imbanagara = orang Imbanagara. Namun karena pengaruh waktu dan jaman serta perubahan ucapan maka kini dikenal dengan nama Kampung PANIMBAAN.
Rd. Jagabaya yang berada di tempat pengungsiannya, begitu terperanjat ketika mendengar kabar bahwa pasukan Mataram dan Kompeni telah mengetahui kemana seluruh putra-putrinya meloloskan diri. Karena merasa khawatir atas nasib putra-putrinya maka dengan segera beliau meminta bantuan kepada sahabatnya yang bernama Rd. Jarauman (bekas patih Imbanagara saat Jagabaya berkuasa) agar memberikan bantuan untuk menyelamatkan putra-putrinya.
Pada suatu hari Rd. Jarauman ditemani putranya Rd. Sokawidana (pemuda yang tangguh dan gagah berani) serta beberapa pengawalnya berangkat mencari jejak putra-putri Rd. Jagabaya untuk memberikan bantuan. Namun di perjalanan mereka tersesat dan tibalah di suatu kampung yang disebut kampung Cangklek (Pasirhayam-Cianjur). Di tempat ini Rd. Sokawidana tergoda atau terpikat oleh gadis cantik Kp. Cangklek, sehingga beliau menikah dan dikarunia dua orang putra kembar, yang satu perempuan (tidak diketahui namanya) dan yang satunya lagi laki-laki yang diberi nama Loya Widana.
Walaupun perjalanan Rd. Sokawidana tersesat dan tergoda oleh gadis kampung Cangklek, namun beliau tidak melupakan tujuan utama mereka yaitu mencari putra-putri Rd. Jagabaya. Suatu hari beliau mendengar kabar bahwa di tetangga kampung sebelah sedang terjadi pertarungan. Dan ternyata yang sedang bertarung adalah Jonggosuro dengan Ki Mas Santanu. Namun karena kekuatan tidak seimbang, akhirnya Ki Mas Santanu menyerah kepada Jonggosuro. Kemudian Ki Mas Santanu dijadikan sebagai penunjuk jalan dalam mencari tempat persembunyian putra-putri Rd. Jagabaya. Rd. Sokawidana segera bergegas memberitahukan kejadian itu kepada Rd. Jarauman. Setelah berpamitan kepada istrinya, kemudian mereka kembali ke tempat pasukan Jonggosuro, namun ternyata pasukan Jonggosuro telah berangkat. Akhirnya mereka terus menelusuri jejak-jejak pasukan Jonggosuro dengan melihat rumput dan semak belukar bekas pijakan kaki-kaki pasukan Jonggosuro.
Ki Mas Santanu bersama rombongan Jonggosuro dan Ki Jebeng menelusuri hutan belantara menuju ke arah selatan dari kampung Cangklek. Dan akhirnya mereka tiba di sekitar Pasir Pogor, Jampangkulon. Dari puncak bukit itu mereka dapat melihat hutan dan pelataran perkampungan. Di atas puncak bukit itu pula mereka membuat siasat untuk menangkap putra-putri Rd. Jagabaya. Mereka berpencar menjadi dua pasukan. Pasukan yang pertama dipimpin oleh Jonggosuro yang menuju ke lembah Pasir Pogor sedangkan pasukan yang kedua dipimpin oleh Ki Jebeng dan Ki Mas Santanu yang menuju ke arah selatan.
Di sebuah dangau (saung ranggon) nampak Rd. Surabujangga, Rd. Surawiangga dan Rd. Suranangga sedang asyik bercengkrama penuh suka cita atas hasil buruan mereka yaitu binatang rusa yang banyak dikumpulkan oleh beberapa pengiringnya. Berburu rusa saat itu sudah menjadi kebiasaan dan apabila melepaskan kelelahannya mereka suka beristirahat di dangau itu. Kadang di tempat itu mereka berkhayal dengan segala angan-angan dan harapan. Mereka berkeinginan untuk mendirikan sebuah kadaleman baru. Sebagai pusat kota pemerintahannya akan diberi nama Kota Nagreug (Nagri Reugreug=negeri yang kuat, aman, tentram, sentosa, subur makmur gemah ripah lohjinawi).
Sambil beristirahat mereka bersenandung kerinduan untuk sekedar melupakan atau melepaskan rasa rindu akan kampung halaman yang telah lama mereka ditinggalkan-nya.
Dari dangau yang menghadap ke Selatan yaitu ke arah samudra luas, nampak panorama pemandangan yang indah. Sungai Cihideung (dulu Ciwening) bermuara ke Cikarang meliku-liku, aliran airnya seperti membelai bukit-bukit yang hijau dan subur. Nampak ladang para penduduk dipagari tinggi-tinggi untuk melindungi dari serangan binatang buas yang masih menghuni hutan belantara di sekitarnya.
Di tengah semilir angin terdengar kicau burung bernyanyi riang sambil berebut madu di tiap kelopak bunga mekar pohon deris di seluas rimba raya saat itu. Burung Dudut terdengar nyaring. Mereka gembira dengan suara nyanyiannya dut-dut calatok menjemput pajar pagi. Suasana alam semakin indah ketika Nyi Putri Dewi Suramanggala berjalan melintasi papanggé dora sambil bernyanyi kecil mengitari sekeliling pagar-pagar tinggi di dalam ladangnya. Tampak lebih cantik lagi tatkala rambutnya yang hitam ikal bergelombang itu tertiup angin segara Selatan. Kecantikannya bagaikan dewi kahyangan saat Nyi Putri Suradewi menggunakan kebaya hitam bercorak kembang melati dan baju kuning menambah kecantikannya sehingga para penduduk pun memberi julukan yang sangat indah pula “Putri SURADEWI”. Begitulah julukan yang semakin tersebar dan mewangi ke seluruh pelosok belantara dan kampung lainnya serta merambah pelataran pesisir pantai Selatan.
Suatu hari ketika Nyi Putri Suradewi memanen ladangnya di Cigodobros dengan ditemani beberapa gadis sebayanya tanpa diketahui dari awalnya dan secara tiba-tiba dari semak belukar Ki Mas Santanu, Ki Jebeng beserta balad-baladnya menghampiri Nyi Putri Suradewi. Ki Mas Santanu sangat gembira bisa menemukan gadis yang diidam-idamkannya. Sedangkan Nyi Putri Suradewi terperanjat ketika melihat rombongan pasukan yang lengkap dengan perkakas perangnya. Kemudian Nyi Putri Suradewi tanpa mengadakan perlawanan ditangkap dan diikat oleh anak buah ki Jebeng. Ia meronta-ronta ingin mengadakan perlawanan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa. Mau berteriak minta pertolongan pun sia-sia saja. Napasnya terasa pengap tatkala mulutnya ditutup rapat oleh telapak tangan Ki Jebeng yang lebar dan besar. Melihat Ki Jebeng membekap mulut Suradewi, membuat hati Ki Mas Santanu menjadi panas. Ki Mas Santanu kemudian menyuruh Ki Jebeng untuk melepaskan Nyi Putri Suradewi. Ki Mas Santanu mengeluarkan kata-kata bahwa ia akan melamar Nyi Putri. Hal ini membuat kaget Ki Jebeng, sehingga terjadi perselisihan paham yang mengakibatkan percekcokan mulut bahkan hampir terjadi pertarungan antara Ki Mas Santanu dengan Ki Jebeng. Situasi demikian dimanfaatkan oleh Nyi Putri Suradewi untuk melepaskan tali ikatannya dan melarikan diri. Melihat Nyi Putri Suradewi melarikan diri membuat Ki Mas Santanu menjadi panik. Kemudian beliau mengejar Nyi Putri Suradewi yang diikuti oleh Ki Jebeng dan anak buahnya. Nyi Putri Suradewi terus berlari tanpa menghiraukan teriakan Ki Mas Santanu yang ingin melamarnya. Putri Suradewi tetap menganggap Ki Mas Santanu sebagai musuhnya yang akan membawa ia ke Mataram. Ia terus berlari tanpa menghiraukan duri-duri dan semak belukar yang menghalanginya. Dalam benaknya ia akan memberitahukan kejadian itu kepada saudaranya Rd. Suranangga yang saat itu sedang berada di pinggir sungai Cigangsa.
Di pinggir sungai Cikamuning Suradewi merasa bingung karena air sungai saat itu mengalir deras akibat sebelumnya hujan lebat. Kemudian ia menapak batu-batu pinggir sungai. Namun karena licin akhirnya ia pun terjatuh dan terbawa arus sungai Cikamuning. Orang yang berada di ladang dekat sungai Cikamuning melihat Suradewi hanyut, berteriak ”Suradewiii.....hanyuuut! .....”Suradewi hanyuuut!.
Mendengar teriakan itu Ki Mas Santanu langsung menuju arah suara. Ki Mas Santanu merasa gugup dan kaget saat melihat Nyi Putri Suradewi hanyut di Sungai Cikamuning. Tanpa berpikir panjang Ki Mas Santanu segera melompat menceburkan dirinya ke sungai itu untuk memberikan pertolongan. Namun karena arus sungainya terlalu deras ia pun terhanyut di sungai itu. Tak ada yang berani menolong dia. Ki Jebeng cuma ternganga, begitu pula para pengawalnya. Mereka hanya bisa melihat Ki Mas Santanu muncul tenggelam di tengah derasnya air sungai itu. Mereka hanya mengikuti arus air sungai dari pinggiran untuk mengikuti kemana hanyutnya jasad Ki Mas Santanu dan mencari kesempatan untuk bisa meraihnya. Alhasil tubuh Ki Mas Santanu dapat ditarik ke pinggir sungai ketika terseok arus air sungai dan menyangkut di ranting pohon. Namun tidak lagi dalam keadaan utuh karena Roh sudah lepas dari jasad Ki Mas Santanu. Hingga akhirnya dimakamkan di atas onggokan tanah yang kini disebut Hunyur Nusa Jawa, yaitu di sekitar Curugluhur Sungai Cikamuning, tidak jauh dari Kampung Batu Susuhunan Desa Swakarya (sekarang Kelurahan Surade) Kecamatan Surade. Oleh masyarakat setempat Ki Mas Santanu dikenal dengan nama Ki Mas Kanta (Mas Konto).
Adapun jasad Nyi Putri Suradewi ditemukan oleh penduduk di pinggir Leuwi Kalang Bentang alur sungai Cikarang. Kemudian dimakamkan di Kalang Bentang yang diberi tanda dengan Batu Lingga.
Kejadian meninggalnya Nyi Putri Suradewi membuat hati saudara-saudaranya merasa terpukul. Namun akhirnya mereka sadar bahwa itu sudah merupakan takdir dari Yang Maha Kuasa.
Kejadian hanyut dan meninggalnya Suradewi terjadi pada hari Sukra, tanggal Catur bulan katiga Suklapaksa-Amanta candrasangkala Pejah Naga Lindu Paksi = 1680 tahun Saka (kalender Sunda) bertepatan dengan hari Jum'at, 8 September 1758 Masehi.Jonggosuro dan pasukannya setelah berpisah di puncak Pasirpogor mereka menuju lembah bukit di kp. Panimbaan untuk mencari Rd. Surawiangga. Namun tidak menemukan Rd. Surawiangga karena pada saat itu ia sedang berburu bersama saudara-saudaranya di daerah Cihideung. Jonggosuro hanya menemukan istri Rd. Surawiangga yaitu Nyi Rd. Teja Karaton dan menyanderanya. Kemudian Jonggosuro bersama pasukannya menuju kearah selatan. Selama dalam perjalanan, Nyi Rd. Teja Karaton ingin meminta bantuan kepada Rd. Surabujangga. Kemudian Nyi Rd. Teja Karaton sebagai penunjuk jalan membawa pasukan Jonggosuro ke tempat Rd. Surabujangga yaitu di daerah pasir kanyere Gandasoli. Di tempat ini juga ternyata Rd. Surabujangga sedang tidak berada di tempat, yang ada hanya istrinya Nyi Rd. Wulansari (Nyi Rd. Doeh) atau dikenal dengan sebuatn Nyi Rd. Saribanon atau juga Nyi Rd. Nitihsari. Dengan tidak adanya Rd. Surabujangga membuat Jonggosuro dengan mudah menangkap Nyi Rd. Wulansari. Dengan ditangkapnya Nyi Rd. Teja Karaton dan Nyi Rd. Wulansari lebih memudahkan Jonggosuro untuk menyusul suaminya yang sedang berburu.
Di sebelah barat sungai Cihideung Rd. Surawiangga, Rd. Suranangga dan Rd. Surabujangga beserta baladnya sedang istirahat melepas lelah setelah berburu. Mereka merasa heran karena hari itu mereka tidak mendapatkan satupun binatang buruannya dan mereka merasa ada yang aneh, tidak biasanya hewan buruannya tidak ada sama sekali bahkan tidak terdengar suara burung yang biasanya berkicau. Ada rasa kekhawatiran dalam benak mereka, yaitu pasukan musuh menemukan tempat mereka dan terjadi peperangan. Dan untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diharapkan maka Rd. Suranangga dan Rd. Surawiangga pulang ke rumahnya untuk mempersiapkan pasukan, sedangkan Rd. Surabujangga bersama beberapa orang baladnya berjaga-jaga ditempat itu. Sambil melepas lelah, Rd. Surabujangga bersama baladnya merebahkan badannya diatas hamparan rumput Surage dibawah pohon Suradita, dan tanpa sadar merekapun tertidur dengan pulas.
Dari kejauhan terdengar sayup-sayup suara wanita meminta tolong. Hal ini membuat Rd. Surabujangga terperanjat dan terbangun dari tidurnya. Kemudian Rd. Surabujangga memerintahkan baladnya untuk bersiap siaga, dan di saat itulah datang Jonggosuro bersama pasukannya. Jonggosuro merasa gembira ketika melihat musuhnya ditemukan, ia pun tertawa terbahak-bahak. Rd. Surabujangga merasa kaget melihat musuhnya telah berada dihadapannya. Gelegar tawa dari balad–balad Jonggosuro terasa lebih tajam menusuk hatinya, terlebih melihat istrinya dan istri Rd. Surawiangga berada dalam cengkraman musuhnya. Nampak di sekeliling tempat itu pasukan Jonggosuro dengan peralatan yang komplit mengepungnya dengan ketat. Tidak lama kemudian datang pula pasukan yang dipimpin oleh Ki Jebeng yang langsung menyatu dengan pasukan Jonggosuro.
Rd. Surabujangga menjadi bingung melihat kondisi yang sedang dihadapinya. Jika melawan, baladnya tidak tidak sebanding dengan pasukan musuhnya lebih banyak. Apabila memaksakan diri untuk melawan berarti harus mengorbankan balad-baladnya yang setia untuk menumpahkan darahnya, serta mengorbankan istrinya dan istri Rd. Surawiangga. Jika menyerah tentu saja bukan sikap kesatria.
Melihat Rd. Surabujangga hanya terpaku berdiam diri saja, Jonggosuro menghampiri Rd. Surabujangga dan mengajaknya untuk menyerah dan kembali ke Galuh Imbanagara. Rd. Surabujangga tetap diam tanpa memberikan jawaban apa-apa. Beliau merenung meminta petunjuk kepada Yang Maha Kuasa untuk mengatasi situasi seperti itu.
Jonggosuro kemudian berkeliling dengan bertolak pinggang sambil memaut kumisnya yang besar memamerkan kecongkakannya serta mengancam Rd. Surabujangga bahwa apabila Rd. Surabujangga tidak menyerah maka seluruh balad-baladnya, istrinya dan istri Rd. Surawiangga termasuk dirinya akan dibunuh. Mendapat ancaman demikian, Rd. Surabujangga tidak merasa gentar lalu berjalan perlahan-lahan mendekati Jonggosuro dan mengajak Jonggosuro untuk menyerah kepada dirinya dari pada Jonggosuro pulang dengan tangan hampa dan dari pada bermusuhan lebih baik menjalin tali persaudaraan. Jangan hanya terpukau oleh jabatan dan silau oleh kemegahan yang akhirnya akan membawa celaka.
Mendengar ajakan seperti itu Jonggosuro menjadi marah. Jonggosuro kemudian mencabut pedangnya lalu dengan tangan kirinya ia menyampaikan isyarat kepada balad-baladnya bahwa pertarungan akan dimulai. Tetapi Rd. Surabujangga menghadapi mereka dengan tenang dan penuh waspada. Kemudian Rd. Surabujangga bersedia ikut ke Imbanagara dengan syarat bahwa hanya beliau saja yang dibawa ke Imbanagara dan meminta agar keluarga Rd. Jagabaya dilepaskan dan keturunan Imbanagara beserta pasukan yang dibawa Jonggosuro bisa bersatu hidup rukun. Jonggosuro menyetujui keinginan Rd. Surabujangga tersebut. Rd. Surabujangga bukan berarti menyerah diri begitu saja namun beliau berani mengorbankan diri untuk dibawa ke Imbanagara demi menjaga keluarga Rd. Jagabaya dan demi mempersatukan antara pasukannya dengan pasukan musuhnya. Kemudian Rd. Surabujangga minta diberi waktu untuk melaksanakan sholat dzuhur terlebih dulu sebelum dibawa ke Imbanagara.
Pada saat Rd. Surabujangga sedang bertafakur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dibawah pohon Suradita, namun entah darimana asalnya dengan begitu cepat melayang sebuah lendam yaitu ujung tombak yang menyerupai keris dan tepat mengenai dada Rd. Surabujangga. Sambil memegang ujung lendam yang menancap di dadanya, Rd. Surabujangga dengan terperanjat spontan berkata, “Inna lillahi wa inna illaihi raajiuun!" Kemudian dengan sikap pasrah secara perlahan dan tersendat sendat beliau berucap dzikir "la ilaha illallah", Yaa Allah, Tuhanku, aku berserah raga, aku berserah nyawa pada-Mu, aku mohon kepada Mu, bahwa apa yang telah menimpa diriku, jadikanlah sebagai penebus permusuhan, jadikanlah sebagai penghindar durjana angkara murka. Janganlah kepulanganku ini kehadapan-Mu dengan tangan hampa!. Jadikanlah peristiwa ini sebagai pencegah permusuhan diantara kami, anak-anak kami, cucu keturunanku dan keturunan kami, serta anak bangsa lainnya!. Eratkanlah mereka dengan tali persaudaraan yang penuh ketentraman dan kedamaian!. Di hamparan tanah tempat aku berbaring, di pekarangan bumi-Mu tempat aku berpijak serta di bawah pohon Suradita tempat aku bersandar, aku titipkan mereka hanya kepada-Mu”.
Sampai buku ini disusun, penulis tidak bisa menemukan kejelasan pasti dari mana asal muasal lendam itu dan siapa yang melakukannya, masih jadi misteri yang belum terpecahkan.
Tanpa terdengar rintihan kesakitan sedikitpun, darahnya terus mengalir keluar dari dadanya terus mengalir bersimbah ke sekujur tubuhnya lalu mengalir perlahan-lahan dan jatuh mengikuti arah arus aliran sungai Hideung (Ciwening). Lalu tubuh Rd. Surabujangga terjerembab ke tanah dan terkulai diantara akar-akar pohon suradita.
Melihat kejadian tersebut membuat kaget seluruh yang ada di tempat itu. Kemudian Jonggosuro mendekati tubuh Rd. Surabujangga dan memegang tubuhnya. Jonggosuro kaget dan terharu sebab ternyata Rd. Surabujangga sudah meninggal. Beliau terpaku menatap dan memegang tubuh Rd. Surabujangga. Di saat yang bersamaan datang pasukan Rd. Suranangga dan Rd. Surawiangga. Melihat Rd. Surabujangga dipegang oleh musuhnya membuat kalaf salah seorang anak buah Rd. Suranangga maka tanpa diberi komando ia langsung menghunus pedang dan membabat leher Jonggosuro hingga putus seketika. Kemudian kepala Jonggosuro ditendang sehingga kepalanya terpental jauh dan bergelinding.
Sampai sekitar tahun 1990-an, di Kp. Sindanglaya, pada saat malam hari melewati tempat itu, ada beberapa kejadian aneh diantaranya pernah melihat kepala bergelinding tanpa badannya, dan ada pula yang pernah mendengar suara kepala bergelinding, dan terkadang ada pula yang mendengar teriakan-teriakan histeris menegakkan bulu roma. Masyarakat di sana menyebutnya Eyang Ego.
Melihat salah seorang prajuritnya yang bertindak tanpa dikomando dan seperti gegabah itu, Rd. Suranangga tak dapat menahannya apalagi mengeluarkan kata-kata. Bahkan Rd. Suranangga terpaku untuk sementara waktu. Tetapi setelah sadar baru ia mengakui bahwa apa yang dilakukan baladnya itu merupakan rasa kesetiaannya kepada keluarganya.
Memang benar bahwa rasa kesatuan telah mereka tumbuhkan sejak meloloskan diri sehingga terbentuklah rasa kesetiaan dan memiliki jiwa krosma (jiwa kebersamaan yang tinggi). Kemudian Rd. Suranangga menghampiri tubuh Rd. Surabujangga dan tubuh Jonggosuro lalu menatap semua yang ada di tempat itu. Terbersit dari dalam hati Rd. Suranangga rasa haru, rasa kasihan, juga rasa hormat kepada bekas musuhnya, terlebih lagi tatkala mereka seluruh anak buah Jonggosuro, dan juga seluruh anak buah Ki Jebeng membuang senjata dengan melemparkannya ke Sungai Ciwening yang kemudian berubah menjadi warna hitam. Semuanya menyerah tanpa mengeluarkan kata-kata.
Rd. Suranangga berkata–kata sambil berjalan menghampiri seluruh anak buah bekas musuhnya dan dengan penuh bijaksana sehingga nampak kewibawaan kepemimpinannya ketika ia berkata-kata yang ditujukan kepada semua yang ada di sana.
Wahai seluruh saudaraku yang berada di tempat ini, eratkan tali persaudaran diantara kalian semua. Buanglah kebencian diantara kalian, tumbuhkanlah rasa kasih sayang diantara kalian. Karena dengan kasih sayang itu akan mengajari kita merasa kaya walau tanpa memiliki banyak harta benda. Dengan kasih sayang akan memperoleh kemenangan tanpa merusak martabat lawan. Dengan kasih sayang kita akan mendapatkan kesaktian walau tanpa aji mantra. Dengan kasih sayang kita akan berani tampil ke medan laga walau tanpa balatentara. Sebaliknya….dengan dendam serta kebencian…tak akan pernah mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini. Luka, kecewa pada diri kalian jangan pindahkan menjadi milik orang lain. Ketahuilah bahwa sampai kapan pun tak akan ada orang yang bisa menentang kasih sayang!.
Setelah menarik nafas panjang, Rd. Suranangga berkata dengan terbata-bata Hari ini, sejak kejadian peristiwa ini, mari kita hilangkan rasa permusuhan, hindarkan peperangan. Karena perang itu tidak akan menguntungkan siapapun. Jika memang kalian masih ingin mengejar tahta, silahkan kalian kembali ke kampung halaman kalian.
Kemudian Rd. Suranangga menanggalkan panji-panji kebesaran Radennya sambil berikrar :
Untuk aku….anakku…cucuku…serta keturunanku…mulai hari ini gelar ningratku akan aku tinggalkan. Sebab menurutku, gelar raden…..walau tidak terukir di dalam namaku dan keturunanku, kelak…dikemudian hari aku akan menyaksikan bahwa tidak akan sedikit dari anak, cucu dan keturunanku, serta keturunan kalian semua…banyak yang akan menjadi pejabat yang arif, adil dan bijaksana di negeri tercinta ini.
Suranangga berhenti sejenak sambil menatap tajam ke sekelilingnya. Lalu beliau berkata untuk mengenang atas meninggal adikku Nyi putri SURADEWI dan mengenang saudara kita SURABUJANGGA yang telah berserah raga, berserah nyawa, jadikanlah pengorbananya sebagai tonggak tumbuhnya perdamaian, jadikanlah tetesan darahnya sebagai ikatan persaudaraan untuk kita sekalian. Maka untuk mengenang bekas tempat Surabujangga meneteskan darah, untuk mengenang bekas tempat Nyi Putri Suradewi dibaringkan, maka hamparan tanah yang kita cintai ini aku beri nama “SURA..RAH..HADIAN!
Secara serempak dan sepontan yang hadir mengikuti ucapan Suranangga dengan penuh hidmat dan bergelora “Sura..Rah..Radian..!” “Sura..Rah..hadian..!”
Sura artinya kemenangan, keberanian, Rah artinya darah, dan Hadian artinya suci. SURA RAH HADIAN berarti darah pemberani, darah suci, darah manusia pemberani yang berani mengeluarkan darah demi kesucian, demi perdamaian, demi persaudaraan.Suranangga berharap bahwa dikemudian hari seluruh keturunannya akan selalu ingat dan mengenang akan peristiwa ini. Saat itu pun datang Rd. Jarauman bersama Rd. Sokawidana. Melihat dan mendengar apa yang telah terjadi, mereka sangat terharu dan menyesal tidak sempat membantu putra-putri Rd. Jagabaya dari marabahaya sebagaimana yang telah diamanatkan kepadanya.
Setelah keadaan reda dan tenang, Suranangga menulis surat untuk ayahnya yang berada di Kp. Pamungguan, Ciamis. Surat tersebut ditulis pada lontar (gebang) yang isinya seperti yang tertulis pada buku Hideung.
Rahadian jaya metu, teu twah ka hibas ratu jati pangeran, ka si ra sakabeh rahadian sup ka leubeut metu sakti (bur) ”titip” samarit musuh lebureun wargine lan tana Imbanagara. ”Ka pan nyata ”sura – rahadian” wargine jagabaya, jabang metu saking Imbanagara, nu metu miti lar ka jatining jatine ”jamak !” da panata ing pangeran hana raneh dulu malim kasih milang bakaling ratu dadi suluh la wan musuh !”
( Disalin oleh Ki Kamal, 1975 )
Adapun titimangsa surat tersebut yaitu sebagaimana tercantum dalam buku hideung yaitu tanggal 2 bulan Syuro tahun Wawu. Suranangga kemudian menyerahkan surat tersebut kepada Jarauman dan Sokawidana untuk disampaikan kepada Rd. Jagabaya ayahnya.
Setelah memakamkan jasad Surabujangga di Kalang Bentang, sore itu Suranangga menancapkan batu biang (batu indung lembur) di sekitar Cigodobros Kateu sekarang dan juga menancapkan batu indung lembur di sekitar puncak Pasiripis Desa Kadaleman. Kemudian mereka mengadakan acara ngukuluan atau acara nyebor, hal ini mereka lakukan sebagai tanda berdirinya sebuah perkampungan dan agar tempat tersebut mendapatkan keberkahan dan kemakmuran serta agar terhindar dari segala marabahaya.
Rd. Surawiangga bersama istrinya Nyi Tejakaraton, kembali ke Pasir Pogor Jampangkulon. Setelah meninggal, beliau dimakamkan di Pasir Pulus Jampangkulon dan dikenal dengan sebutan Embah Emas.
Jarauman dan Sokawidana setelah diberi tugas Suranangga untuk menyampaikan surat kepada Rd. Jagabaya, sampailah ke Kp. Pamungguan Ciamis, tempat Rd. Jagabaya berada. Namun sayang setibanya di sana ternyata Rd. Jagabaya telah meninggal sehingga surat tersebut tidak bisa berikan kepada Rd. Jagabaya. Akhirnya surat tersebut oleh Jarauman dibawa kembali untuk disampaikan kepada Suranangga. Sebelum kembali ke wilayah Sura Rah Hadian, Sokawidana kemudian mampir ke kp. Cangklek untuk membawa istri dan anaknya.
Setelah menjemput istri dan anaknya kemudian Sokawidana dan Jarauman menuju ke tempat tinggal Suranangga yaitu ke Sura Rah Hadian. Namun sesampainya di tempat itu Jarauman tidak bertemu dengan Suranangga karena beliau sedang mencari ilmu agama di Galunggung. Suranangga menjadi murid kekasih Mualim Sindangkasih Galunggung.
Kemudian Jarauman dan Sokawidana beserta istri dan anaknya (Loyawidana) membuka perkampungan di sebelah Timur Cigodobros. Nama perkampungan tersebut dia beri nama JAGABAYA. Nama tersebut sebagai kenangan atas pimpinannya yang telah wafat. Lama kelamaan masyarakat setempat mengasumsikan bahwa Nama Jagabaya artinya menjaga mara bahaya. Maka sesuai dengan keinginan dan kesepakatan masyarakat, kemudian nama Kp. Jagabaya diganti menjadi Kp. JAGAMUKTI yang memiliki arti bahwa wilayah yang subur makmur ini perlu dijaga dan dilestarikan dengan harapan bahwa dengan pergantian nama kampung yang baru itu dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya serta gemah ripah lohjinawi, ayem tengtrem, sugih mukti, perbawa kerta raharja.
Sokawidana mempunyai putra kedua yang bernama Soka Surya Kusumah. Sokawidana setelah meninggal dikuburkan di Pasir Leungis sedangkan Jarauman, Loyawidana dan Soka Surya Kusumah setelah meninggal dikuburkan di Salenggang.
Suranangga sekembalinya dari pesantren Sindangkasih Galunggung, kemudian beliau menyebarkan ajaran agama Islam. Sehingga masyarakat yang tadinya menganut agama Sunda, sedikit demi sedikit berubah menjadi penganut agama Islam yang taat. Atas jasa-jasanya beliau dalam menyebarkan agama Islam maka oleh masyarakat setempat beliau diberi julukan Eyang Wira Santri Dalem.
Setelah Eyang Wira Santri Dalem meninggal, kemudian oleh masyarakat setempat beliau dikuburkan di Cigangsa. Karena beliau dikuburkan di Cigangsa maka masyarakat setempat menambah julukannya menjadi Eyang Wira Santri Dalem Cigangsa.
Nama Tempat SURA RAH HADIAN lama kelamaan akibat pengaruh methatehsis (ucapan) serta pengaruh waktu dan jaman sehingga berubah menjadi “SURAHADÉ”. Hal ini disebabkan karena masyarakat menganggap kata Hadian yang berarti Suci sama dengan Hadé (bagus). Begitu juga dengan kebiasaan masyarakat yang selalu mempersingkat kata-kata agar mudah diucapkan. Namun sebagian masyarakat ada pula yang menyebut tempat tersebut sebagai tempat Suradewi. Hal ini dikarenakan Suradewi sebagai putri bangsawan yang paling dekat dengan rakyat (merakyat) serta sangat perhatian terhadap nasib masyarakat. Selain itu, beliau merupakan adik Rd. Suranangga seorang tokoh pejuang yang disanjung dan disegani masyarakat serta pendiri daerah tersebut. Sehingga sebutan SURADÉWI sangat melekat dihati masyarakat sekitar daerah tersebut.
Akibat dua persepsi penyebutan nama tempat tersebut yaitu kata SURAHADÉ dan sebutan SURADÉWI maka sebagai jalan terbaik dari perbedaan sebutan ini, akhirnya penamaan daerah tersebut tanpa pengukuhan yang resmi diakui oleh masyarakat namun masyarakat sampai sekarang menerima nama tersebut menjadi “S U R A D E“.
Hal yang patut kita renungkan :
- Sebuah amanat (pesan) dan ikrar yang terucap dari Rd. Suranangga atau yang dikenal dengan nama Eyang Santri Dalem Cigangsa, pada saat penamaan SURA RAH HADIAN untuk sebuah tempat yang kini dikenal dengan nama Surade. Amanat (pesan) dan Ikrar tersebut diantaranya sebagai berikut :
- Surade.
- Kota Nagreug
- Kadaleman.
Amanat Rd. Suranangga - Eyang Wira Santri Dalem Cigangsa:
"Wahai seluruh saudaraku.....,
eratkan tali persaudaran diantara kalian semua.
Buanglah kebencian diantara kalian,
tumbuhkanlah rasa kasih sayang diantara kalian.
Karena dengan kasih sayang.....
akan mengajari kita merasa kaya walau tanpa
memiliki banyak harta benda.
Dengan kasih sayang......
akan memperoleh kemenangan tanpa merusak martabat lawan.
Dengan kasih sayang......
kita akan mendapatkan kesaktian walau tanpa aji mantra.
Dengan kasih sayang kita akan berani tampil ke medan laga
walau tanpa balatentara.
Sebaliknya...dengan dendam serta kebencian...
tak akan pernah mendapatkan hikmah dalam kehidupan ini.
Luka, kecewa pada diri kalian jangan pindahkan
menjadi milik orang lain.
Ketahuilah...... bahwa sampai kapan pun
tak akan ada orang yang bisa menentang kasih sayang!.
Ikrar Rd. Suranangga - Eyang Wira Santri Dalem Cigangsa:
Untuk aku...anakku...cucuku...serta keturunanku...
mulai hari ini gelar ningratku akan aku tinggalkan.
Sebab menurutku, gelar raden...walau tidak terukir
di dalam namaku dan keturunanku,
kelak...dikemudian hari aku akan menyaksikan
bahwa tidak akan sedikit dari anak, cucu dan keturunanku,
serta keturunan kalian semua...banyak yang akan menjadi
pejabat yang arif, adil dan bijaksana di negeri tercinta ini.
Rd. Suranangga sebagai tokoh pendiri Surade telah mengingatkan kita untuk mempererat tali persaudaraan dengan menumbuhkan rasa kasih sayang dan menjauhi rasa dendam. Amanat inilah yang patut kita renungkan dan kita realisasikan di kehidupan kita sehari-hari.
Di sini kami mencoba menguraikan sedikit tentang pentingnya mempererat tali persaudaraan (ukhuwah islamiyah).
Dalam Islam kita diajarkan untuk menghormati sesama muslim juga makhluk Allah lainnya. Sebagaimana Allah menjelaskan dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat ayat 10 :
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah kedua saudaramu (perbaikilah hubungan) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu dirahmati."
Rasulullah SAW juga bersabda, ada dua langkah manusia yang disukai Allah yaitu: (1) Langkah menuju masjid untuk sholat Fardhu. (2) Langkah menuju silaturahim kepada kerabat yang mahram.
Menjalin silaturahim tak hanya mendatangkan manfaat di dunia, namun juga mendapat fadhilah (keutamaan) di Akhirat. Sehingga dalam perspektif syariat islam, menjalin silaturahmi hukumnya wajib bagi setiap muslim.
HR. Bukhari dan Muslim : “Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka sambunglah tali silaturahmi.”
HR. Bukhari : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia menyambung tali silaturahmi.”
Selain itu banyak sekali manfaat dari menjalin silaturahmi yang diantaranya : sebagai bentuk ketaatan kepala Allah SWT, menggugurkan dosa, dijauhkan dari api neraka, dipanjangkan umur dan dilapangkan rezeki, mendapat pahala, mendapat Rahmat Allah SWT dan menghilangkan perselisihan dan manfaat lainnya.
Begitu pentingnya kita sebagai umat manusia ciptaan Allah untuk tetap menjalin dan mempererat tali persaudaraan/tali silaturahmi seperti yang di perintah oleh Allah SWT sebagai Sang Pencipta dan yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagai penuntun umat-Nya mendapat Rahmat dari Allah SWT.
Jadi apa yang telah di amanatkan oleh Rd. Suranangga atau Eyang Santri Dalem Cigangsa semasa beliau masih hidup, dapat dijadikan pedoman hidup kita sebagai manusia, walaupun apa yang dikatakan beliau terucap 250 tahun (2008) yang lalu tapi masih tetap relevan dengan sekarang. Dengan kasih sayang hidup terasa indah tapi dengan dendam dan kebencian hidup akan berada dalam kenistaan.
Selain itu beliau (Rd. Suranangga) menghilangkan gelar Raden pada namanya beserta anak, cucu dan keturunannya. Hal ini bertujuan supaya tidak ada jurang pemisah antara keturunannya dengan masyarakat. Namun, walaupun gelar Raden tidak terukir pada nama keturunannya tapi tidak akan sedikit dari mereka yang akan menjadi pejabat di negeri ini.
Ucapan beliau mungkin terbukti dengan adanya 2 (dua) orang putra Jampangkulon dan Surade yang pernah menjadi pucuk pimpinan di Pemerintahan di wilayah Negara tercintan ini, Indonesia yaitu :
Sumber : https://id.wikipedia.orgBeliau keturunan Pangeran Hidayatullah dari Banjarmasin Kalimantan Selatan dan dibuang ke Cianjur, dan menikah dengan istri ke-duanya dari keturunan Eyang Surawiangga dan salah satu putranya adalah Bpk. Eddy Djajang Djayaatmadja.
Mudah-mudahan ke depannya putra-putri keturunan pa-jampang-an bisa menjadi pucuk pemerintahan di Negeri ini. Dan selain itu masih banyak putra-putri Surade dan pa-Jampang-anyang menjadi pejabat pemerintahan maupun legislatif dan menjadi para pengusaha yang sukses di tingkat Kabupaten, tingkat propinsi bahkan nasional.
Dari kata Surade kami garis bawahi kata Sura. Dalam makalah Seminar Penulisan Buku Sejarah Surade yang ditulis Anis Djatisunda yang mengutif pendapat seorang ahli bangsa Belanda J.C. Hageman (1867) beranggapan kata Sura merupakan ciri khusus untuk Keraton para Raja Sunda. Anggapan dia demikian berdasarkan hasil temuan pada nama-nama Keraton Kerajaan Klasik di Jawa Barat seperti Surawisesa (keraton Kawali), Suradipati (salah satu keraton Pakuan Pajajaran), Surasowan (Keraton Banten), Surakarta (keraton kerajaan kecil di daerah Jakarta), Suradita (keraton kerajaan kecil di daerah Tangerang).
Lalu kata Sura pada nama Surade, apakah merupakan cikal bakal berdirinya sebuah kerajaan atau pemerintahan ?. Wallahu alam. Kita sampai keturunan berikutnya yang bisa membuktikannya ke depan.
Ada pula para leluhur yang mengatakan bahwa kata Surade sebagai siloka dari Kota kecil atau kota bungsu (terakhir). Menurut cacandran bahwa Surade suatu saat nanti akan menjadi sebuah kota yang menyerupai kota Jakarta. Apakah ini juga akan terbukti?
Wallahu alam.
Rd. Surabujangga, Rd. Surawiangga dan Rd. Suranangga pada saat bercengkrama dengan keluarganya di tempat peristirahatan yaitu sebuah dangau (saung ranggon), mereka mempunyai angan-angan atau harapan untuk mendirikan kadaleman yang baru dengan pusat kota pemerintahannya akan diberi nama Kota Nagreug (Nagri Reugreug=negeri yang kuat, aman, tentram, sentosa, subur makmur gemah ripah lohjinawi).
Kata Nagreug. Apakah menunjukkan kp. Nagreug sekarang yang berada di Kecamatan Surade akan menjadi pusat keramaian pemerintahan ? atau simbol dari sebuah keadaan bahwa Surade akan hidup kuat, aman, tentram, sentosa, subur makmur.
Kadaleman sebuah nama perkampungan sebagai perlambang bahwa tempat tersebut merupakan tempat para bangsawan bermukim bahkan sampai meninggalnya di tempat ini. Lalu kita telaah kembali bahwa Rd. Suranangga pernah menanamkan batu indung lembur di Pasiripis desa Kadaleman sebagai tanda berdirinya sebuah kampung yang bernama Sura Rah Hadian yang kini dikenal dengan nama Surade.
Pada tahun 1811 sampai 1843, pusat pemerintahan Desa Wanasari Kecamatan Waluran Kewedanaan Bojonglopang Kabupaten Cianjur berada di Kp. Pasiripis, termasuk desa Kadaleman sekarang. Desa ini merupakan desa yang pertama di wilayah Jampangkulon.
Gambaran kehidupan yang disampaikan orang tua terdahulu pada anak cucunya selalu menggunakan siloka atau simbol-simbol. Untuk mengetahui arti dari simbol tersebut kita diharapkan menafsirkan kemudian merenungkan dan memahaminya agar tidak tersesat di kemudian hari.
Hanya Tuhan Sang Pencipta yang lebih tahu segala sesuatu yang akan terjadi di dunia ini. Manusia hanya mempunyai angan-angan dan harapan, Tuhanlah yang menentukan.
Hak Cipta © Baladaka Surade - 0812 1984 3366
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tulis komentar / saran-sarang yang membangun di sini !