Budaya Jampangkulon bukanlah budaya statis, melainkan budaya yang hidup, berkembang, dan menyesuaikan diri dengan perubahan zaman. Dari tradisi lisan, seni pertunjukan, ritual agraris, hingga tradisi keagamaan, semua menyatu menjadi warna kehidupan masyarakat.
1. Sistem Nilai dan Pandangan
Masyarakat Jampangkulon adalah bagian dari masyarakat Sunda, namun dengan warna lokal yang khas: identitas Pajampangan. Dialek bahasa Sunda yang digunakan di wilayah ini memiliki intonasi, kosakata, dan ungkapan yang unik dibanding daerah Priangan. Hal ini menunjukkan bahwa kultur di Jampangkulon bukan hanya bagian dari budaya Sunda secara umum, tetapi memiliki diferensiasi yang memperkaya mozaik kebudayaan Jawa Barat.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Jampangkulon masih memegang teguh nilai-nilai silih asih, silih asah, silih asuh. Tiga konsep ini mengajarkan kasih sayang, pendidikan moral, dan kepedulian sosial. Nilai ini terlihat nyata dalam kehidupan sehari-hari:
- Gotong Royong (Sabilulungan): Tradisi kerja sama dalam membangun rumah, memperbaiki jalan, hingga menyiapkan hajatan atau membantu keluarga yang terkena musibah
- Ketaatan Agama: Islam menjadi fondasi kehidupan, di mana masjid dan mushola tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah, tetapi juga pusat musyawarah dan pendidikan anak-anak (ngaji, pesantren kilat).
- Kehormatan dan Harga Diri: Orang Jampangkulon terkenal memiliki watak tegas, keras dalam mempertahankan prinsip, namun lembut dalam persaudaraan.
Budaya Jampangkulon menempatkan lembur (kampung) sebagai pusat kehidupan. Hubungan antarwarga dibangun dengan asas kekeluargaan. Ada konsep tata titi duduga peryoga, yaitu etika dalam berhubungan sosial: menjaga ucapan, sikap, dan sopan santun.
Kehidupan sosial diwarnai dengan kebersamaan, gotong royong, serta penghormatan terhadap tokoh adat dan agama. Sesepuh kampung masih memiliki peran penting dalam memberikan nasihat dan keputusan adat. Nilai spiritual Islam juga sangat mewarnai budaya lokal, sehingga lahir perpaduan unik antara tradisi Sunda dan ajaran agama.
Salah satu pilar kultur Jampangkulon adalah gotong royong. Tradisi ini nyata dalam kerja bakti, membangun rumah tetangga, membersihkan makam, atau membantu saat hajatan. Nilai kebersamaan inilah yang menjadi kekuatan masyarakat desa, menjadikan mereka tangguh menghadapi berbagai perubahan zaman.
2. Seni Pertunjukan dan Ekspresi Budaya
Budaya Jampangkulon tidak dapat dilepaskan dari kesenian rakyat. Seni pertunjukan di Jampangkulon menjadi cerminan harmoni masyarakat yang hidup dalam kesederhanaan, namun penuh makna. Ada beberapa bentuk kesenian rakyat yang hingga kini masih lestari, meski sebagian mulai berhadapan dengan tantangan modernisasi.
a. Debus Pajampangan
Seni debus menjadi salah satu ikon Jampangkulon. Atraksi ketahanan tubuh yang menunjukkan keberanian dan spiritualitas masyarakat. Bagi masyarakat Jampangkulon, debus bukan hanya pertunjukan, melainkan bagian dari identitas kultural. Dalam setiap pementasan, selalu tampak nilai-nilai lokal: Musik pengiring dengan kendang, terompet, dan bedug kecil, menciptakan suasana sakral sekaligus meriah. Busana pemain yang sederhana namun khas, biasanya berupa ikat kepala (iket), baju pangsi, dan kain sarung dan bahasa serta doa yang digunakan dalam pertunjukan, memadukan bahasa Sunda dan doa-doa Islami. Debus telah menjadi cara masyarakat Jampangkulon menjaga hubungan antara tradisi, agama, dan identitas lokal.
b. Calung dan Angklung
Alat musik tradisional berbahan bambu ini masih bertahan di Jampangkulon : Calung dan Angklung. Calung bukan hanya sekadar hiburan, ia berfungsi sebagai media komunikasi sosial. Pada acara hajat lembur, khitanan, kenaikan kelas sekolah dan pernikahan, calung dimainkan bersama dengan sinden yang membawakan tembang-tembang Sunda klasik. Melalui calung, masyarakat Pajampangan mengekspresikan rasa syukur, doa, serta kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun.
Sementara itu, angklung memiliki peran yang lebih luas dalam membangun identitas budaya Jampangkulon. Angklung dimainkan dengan cara digoyangkan, menghasilkan bunyi khas dari bambu yang bergema
Setiap tabung bambu pada angklung hanya mampu menghasilkan satu nada, sehingga untuk menciptakan harmoni, diperlukan kerja sama antara banyak pemain.
Di sinilah nilai filosofis angklung hidup: kebersamaan dan gotong royong. Masyarakat Jampangkulon memandang angklung sebagai simbol kehidupan sosial: seseorang tidak bisa hidup sendiri, melainkan harus bersatu untuk menciptakan keseimbangan.
c. Tarian Jaipongan
Keberadaan Jaipongan di Jampangkulon tidak hanya sekadar hiburan, melainkan juga simbol ekspresi budaya masyarakat Sunda yang masih terjaga hingga kini. Para penari, kebanyakan generasi muda, mengenakan kostum berwarna cerah dengan ornamen khas Sunda, menampilkan gerakan penuh dinamika yang menyatu dengan iringan musik kendang jaipong, goong, serta instrumen gamelan lainnya.
Gerakan dalam Jaipongan kaya akan makna simbolis. Ada gerakan yang melambangkan keluwesan perempuan Sunda, kekuatan, kegembiraan, hingga semangat gotong-royong. Sifat atraktif, terbuka, dan komunikatif dari Jaipongan membuatnya menjadi seni yang dapat dinikmati lintas kalangan, dari rakyat biasa hingga pejabat daerah
d. Pencak Silat Jampangkulon
Silat menjadi warisan bela diri yang kuat. Di Jampangkulon terdapat berbagai perguruan silat yang tidak hanya melatih fisik, tetapi juga mental, spiritual, dan akhlak. Silat Pajampangan dikenal dengan gerakan tangkas, tegas, dan penuh filosofi. Lebih dari sekadar pertarungan, pencak silat juga menjadi wadah pendidikan karakter anak muda. Di Jampangkulon, pencak silat berkembang sebagai bagian dari identitas Pajampangan yang gagah berani, religius, sekaligus menjunjung tinggi nilai-nilai budaya Sunda.
e. Kuda Lumping
Kuda Lumping atau sering juga disebut Kuda Kepang adalah salah satu kesenian tradisional yang cukup populer di wilayah Jampangkulon. Kesenian ini sudah lama hidup di tengah masyarakat sebagai bagian dari ritual, hiburan, sekaligus media ekspresi budaya
Di Jampangkulon, Kuda Lumping biasanya dimainkan dalam acara-acara hajatan besar, seperti khitanan, pernikahan, hingga peringatan hari-hari besar tertentu. Para pemain menggunakan kuda-kudaan yang terbuat dari anyaman bambu, dihias dengan cat warna-warni dan kain sehingga menyerupai kuda sungguhan. Gerakan yang dimainkan menyerupai prajurit yang menunggang kuda, lengkap dengan irama musik gamelan atau kendang khas Sunda
Salah satu ciri khas Kuda Lumping di Pajampangan adalah adanya unsur magis dan spiritual. Tidak jarang para pemain mengalami kesurupan (trance) ketika pertunjukan berlangsung. Mereka bisa memakan pecahan kaca, berjalan di atas bara api, atau melakukan gerakan yang tidak biasa di luar kendali tubuhnya. Fenomena ini sering dianggap sebagai perwujudan kekuatan gaib atau sebagai wujud “roh leluhur” yang hadir memberi restu dalam pertunjukan.
Meski penuh unsur mistis, masyarakat Jampangkulon tidak hanya memandang Kuda Lumping sebagai hiburan semata, tetapi juga sebagai media spiritual. Pertunjukan ini diyakini mengandung doa-doa tersembunyi agar acara yang diselenggarakan berjalan lancar, mendatangkan keberkahan, serta menjadi penolak bala
Kini, kesenian Kuda Lumping di Jampangkulon mulai digarap lebih modern tanpa menghilangkan ruh aslinya. Beberapa kelompok seni muda mengemasnya dengan koreografi yang lebih tertata, menambahkan musik modern, bahkan memasukkan unsur teater. Namun, esensi budaya tradisional—yakni perpaduan antara hiburan, spiritualitas, dan rasa kebersamaan—tetap dipertahankan
Kehadiran Kuda Lumping menjadi bukti bahwa Jampangkulon tidak hanya kaya dengan alam dan sejarah, tetapi juga memiliki dinamika kebudayaan yang terus hidup. Dari setiap hentakan kaki penari dan irama kendang yang mengiringi, kita bisa merasakan denyut nadi budaya Sunda Pajampangan yang penuh warna
f. Wayang Golek
Dalam masyarakat Jampangkulon, wayang golek bukan hanya tontonan, tetapi juga tuntunan. Pertunjukan sering diadakan pada acara hajatan, khitanan, pesta rakyat, hingga peringatan hari besar nasional. Dalang tidak hanya memainkan tokoh-tokoh pewayangan dari kisah Mahabharata atau Ramayana, tetapi juga menyelipkan sindiran sosial, kritik halus, hingga wejangan moral yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Wayang golek di Jampangkulon juga berfungsi sebagai media perekat sosial. Saat pertunjukan digelar semalam suntuk, masyarakat dari berbagai kalangan berkumpul tanpa memandang perbedaan, menjadikannya ajang silaturahmi dan penguatan identitas kultural
Sejumlah dalang asal Pajampangan dikenal mampu memberikan sentuhan unik dalam pertunjukan wayang golek. Mereka bukan hanya pencerita, tetapi juga filsuf rakyat yang menyampaikan pesan moral, keislaman, dan kebijaksanaan hidup. Tokoh-tokoh punakawan seperti Cepot, Dawala, dan Gareng sangat populer di kalangan masyarakat Jampangkulon karena dianggap mewakili suara rakyat kecil.
Seiring berkembangnya teknologi dan hiburan modern, eksistensi wayang golek di Jampangkulon menghadapi tantangan besar. Penonton generasi muda cenderung lebih akrab dengan media digital daripada duduk semalam suntuk menonton pagelaran wayang. Namun demikian, berbagai komunitas seni dan budayawan Pajampangan masih berusaha melestarikannya, baik melalui sanggar seni, pementasan di sekolah-sekolah, maupun melalui festival budaya
Keberadaan wayang golek di Jampangkulon bukan sekadar warisan seni, tetapi juga bagian dari identitas kultural masyarakat. Ia menjadi simbol bagaimana seni dapat menyatukan masyarakat, mengajarkan nilai-nilai kehidupan, sekaligus menjaga kesinambungan tradisi leluhur. Dengan tetap dilestarikan, wayang golek akan terus menjadi cermin perjalanan budaya Jampangkulon, menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
g. Marawis
Marawis adalah seni pertunjukan tradisional yang menggunakan alat musik rebana sebagai instrumen utama, sering digunakan sebagai media dakwah Islam yang sering digunakan dalam acara keagamaan, seperti muludan, rajaban atau acara-acara lainnya seperti upacara adat. Kesenian ini memiliki nilai spiritual dan budaya yang kuat, berfungsi sebagai sarana hiburan, upacara ritual, dan ekspresi emosional masyarakat
Hingga kini, kelompok seni marawis masih banyak ditemui di Jampangkulon, baik yang beranggotakan para pemuda masjid, santri, maupun komunitas kesenian kampung. Bagi masyarakat, seni terebas (marawis) bukan sekadar hiburan, tetapi juga: Sarana pendidikan agama, karena syair-syairnya berisi pesan moral dan nilai Islam, Media silaturahmi, karena setiap pementasan marawis mempertemukan banyak orang dan Identitas lokal, yang memperlihatkan kekayaan budaya religius Jampangkulon.
Seiring dengan modernisasi, eksistensi marawis sempat mengalami penurunan akibat generasi muda yang lebih tertarik pada musik modern. Namun, berkat dukungan para ulama, tokoh masyarakat, dan lembaga pendidikan Islam, tradisi ini tetap bertahan. Bahkan, beberapa sekolah di Jampangkulon menjadikan ekstrakurikuler marawis sebagai salah satu upaya melestarikan warisan budaya ini.
Harapannya, seni terebas atau marawis tidak hanya dipandang sebagai hiburan semata, tetapi tetap menjadi sarana dakwah dan identitas spiritual masyarakat Jampangkulon, sekaligus memperkaya khazanah seni Islam di Nusantara.
3. Tradisi dan Upacara Adat
a. Mitembeyan
Kata mitembeyan berasal dari bahasa Sunda, yang artinya “ngamimitian” atau memulai. Dalam tradisi masyarakat pedesaan di Pajampangan, termasuk wilayah Jampangkulon, mitembeyan merupakan sebuah ritual adat yang dilaksanakan sebelum atau sesudah kegiatan pertanian, seperti menanam benih, menebar bibit, maupun memanen hasil tani.
Saat ini, mitembeyan sudah jarang dilakukan dalam bentuk aslinya. Namun di beberapa kampung di Jampangkulon, upacara ini masih dilestarikan sebagai tradisi turun-temurun. Bedanya, jampe atau mantra kuno kini diganti dengan doa Islam, bahkan ada yang mengundang ustadz atau kyai untuk memimpin.
Hal ini menunjukkan adanya akulturasi budaya antara tradisi agraris lama dengan ajaran Islam. Dengan demikian, mitembeyan bukan sekadar ritual adat, melainkan juga cerminan kearifan lokal yang mampu beradaptasi dengan zaman.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Mitembeyan diantaranya : 1. Religiusitas, meyakini adanya kekuatan Ilahi yang menentukan keberhasilan usaha, 2. Kebersamaan, gotong royong dan silaturahmi antarwarga, 3. Ekologis, menjaga keselarasan antara manusia dengan alam dan 4. Syukur, menanamkan kesadaran bahwa hasil bumi adalah anugerah, bukan semata-mata jerih payah manusia.
Dalam konteks budaya Jampangkulon, mitembeyan tidak hanya ritual tani, tetapi juga simbol jati diri masyarakat agraris. Tradisi ini memperlihatkan bagaimana masyarakat menghargai alam, menyatukan nilai-nilai leluhur dengan ajaran agama, serta menjaga warisan budaya agar tidak punah
Pelestarian upacara mitembeyan menjadi penting, tidak hanya untuk menjaga kearifan lokal, tetapi juga sebagai bahan kajian sejarah, antropologi, dan etnografi Sunda. Upacara ini adalah jejak hidup dari masa lalu yang masih menetes dalam kehidupan masyarakat hari ini.
b. Ngabungbang
Upacara tradisional mandi bersama di sungai atau mata air tertentu, dipercaya untuk membersihkan diri lahir dan batin. Meski kini jarang dilakukan, ngabungbang masih tersisa dalam bentuk simbolik dalam acara doa bersama atau ziarah ke makam leluhur.
Ngabungbang bukan hanya bernilai spiritual, tetapi juga mempererat kohesi sosial masyarakat. Kegiatan ini sering dijadikan ajang berkumpul warga, saling berbagi makanan sederhana (rujakeun, bubur, atau hasil bumi), sekaligus menjadi wadah silaturahmi antarwarga
Dalam perkembangannya, ngabungbang di Jampangkulon mengalami transformasi. Sebagian masyarakat masih melaksanakannya dalam bentuk doa bersama atau pengajian dini hari, sehingga tradisi lama berasimilasi dengan nilai Islam. Perpaduan ini memperlihatkan kemampuan budaya lokal Sunda untuk tetap lestari meskipun telah melalui proses islamisasi.
Tradisi ngabungbang mengandung nilai-nilai penting, di antaranya: Religiusitas: mengingatkan manusia untuk selalu bersyukur dan mendekatkan diri kepada Tuhan, Kebersamaan: memperkuat solidaritas sosial melalui kebersamaan dalam ritual dan Kearifan Lokal: menjaga warisan leluhur yang sarat makna filosofis dan historis.
Upaya pelestarian budaya ngabungbang di Jampangkulon saat ini masih dilakukan oleh beberapa komunitas adat dan kelompok budaya, terutama dalam acara tertentu seperti ngabungbang di bulam Maulid.
4. Bahasa dan Tradisi Lisan
Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan identitas kolektif suatu masyarakat. Di wilayah Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, bahasa dan tradisi lisan menjadi salah satu aspek penting yang membentuk karakter sosial-budaya masyarakat setempat. Bahasa Sunda adalah bahasa utama di Jampangkulon, dengan dialek khas Pajampangan dan menjadi bahasa mayoritas memiliki kedudukan sentral, baik dalam komunikasi sehari-hari, ritual adat, maupun ekspresi seni. Tradisi lisan yang berkembang, mulai dari dongeng, wawacan, tembang, hingga mantra dan pepatah, memperlihatkan kekayaan intelektual masyarakat yang diwariskan secara turun-temurun. Cerita-cerita rakyat tentang Surawidjangga, tokoh yang berasal dari Galuh Imbanagara dan kemudian menjadi panutan di Jampangkulon, masih diceritakan oleh para sesepuh sebagai bagian dari identitas historis.
Ada juga pepatah atau ungkapan seperti “Gunung teu meunang dilebur, cai teu meunang dirusak, lemah teu meunang ditelasan”, pepatah yang mengajarkan larangan merusak alam. Ungkapan-ungkapan seperti ini menjadi nilai moral yang diwariskan turun-temurun.
Tradisi lisan di Jampangkulon memiliki peran yang sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan: 1. Pendidikan Moral: menyampaikan nilai-nilai etika, sopan santun, dan kearifan lokal, 2. Media Hiburan: dongeng dan tembang berfungsi sebagai hiburan rakyat pada malam hari atau saat berkumpul, 3. Legitimasi Adat: bahasa lisan menjadi alat untuk mengesahkan upacara adat seperti pernikahan, khitanan, atau panen dan 4. Pemersatu Sosial: dengan bahasa Sunda Pajampangan, masyarakat merasakan ikatan emosional yang kuat sebagai satu kesatuan budaya.
Bahasa dan tradisi lisan di Jampangkulon adalah warisan budaya yang tak ternilai harganya. Bahasa Sunda Pajampangan bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan masyarakat. Tradisi lisan, dengan segala bentuknya, adalah refleksi dari kearifan lokal yang sepatutnya dilestarikan agar tidak punah ditelan zaman.
5. Religi dan Tradisi Keagamaan
Jampangkulon memiliki kultur religius yang kental dan Islam menjadi agama mayoritas yang mempengaruhi kebudayaan Jampangkulon. Kehidupan keagamaan masyarakat Jampangkulon tidak terbatas pada ritual besar, tetapi sangat terasa dalam aktivitas harian. Setiap waktu shalat, suara azan menggema dari masjid dan mushola di desa-desa. Pengajian rutin selepas magrib, tadarus Al-Qur’an, serta tradisi membaca doa bersama di rumah atau majelis ta’lim menjadi bagian penting dari keseharian masyarakat.
Selain itu, tradisi ngaji sorogan (membaca kitab kuning secara individu di hadapan guru) dan bandungan (ngaji bersama di pesantren) masih bertahan, terutama di pesantren-pesantren tua. Tradisi ini menjadi bukti bahwa masyarakat Jampangkulon tidak hanya menjalankan ibadah formal, tetapi juga menjadikan ilmu agama sebagai warisan berharga untuk generasi berikutnya.
Selain ibadah harian, masyarakat Jampangkulon mengenal sejumlah tradisi keagamaan kolektif yang dijalankan secara turun-temurun. Beberapa di antaranya: Peringatan Maulid Nabi, Rajaban, Nuzulul Qur’an, hingga Muharaman selalu diperingati dengan meriah, diiringi tablig akbar dan kesenian bernuansa Islami. Tradisi tahlilan, Haul ataupun ziarah kubur ke makam leluhur juga menjadi bagian penting dari religiusitas masyarakat.
Corak keagamaan di Jampangkulon menunjukkan adanya akulturasi antara Islam dan tradisi Sunda. Misalnya, dalam upacara pernikahan, selain akad nikah secara Islam, terdapat prosesi mapag panganten dengan kilengser, sungkeman, serta sawer panganten yang merupakan tradisi khas Sunda. Dalam acara khitanan (sunatan), masyarakat juga sering mengiringi dengan tembang tradisional atau iringan musik terebang (Marawis).
Pesantren merupakan pusat utama kehidupan religius di Jampangkulon. Selain mendidik santri, pesantren berfungsi sebagai benteng moral masyarakat. Ulama pesantren tidak hanya dihormati karena ilmunya, tetapi juga menjadi panutan sosial dalam mengatur harmoni kehidupan desa. Pesantren juga menjadi penghubung antara tradisi lama dan kebutuhan zaman, terutama dalam pendidikan Islam dan pemberdayaan masyarakat.
Tradisi keagamaan di Jampangkulon tidak hanya menyentuh aspek spiritual, tetapi juga membentuk identitas sosial dan kultural masyarakat. Ritual-ritual keagamaan menjadi sarana kebersamaan, memperkuat solidaritas, dan menjaga keterikatan dengan sejarah serta leluhur. Nilai religiusitas ini menjadi benteng bagi masyarakat Jampangkulon dalam menghadapi perubahan zaman dan arus modernisasi.
Religi dan tradisi keagamaan di Jampangkulon adalah cermin dari perjalanan panjang masyarakat dalam merawat nilai-nilai Islam sekaligus menjaga akar tradisi Sunda. Kehidupan religius di sini bukan hanya ritual formal, tetapi sebuah sistem nilai yang menyatu dengan kehidupan sosial, adat, dan budaya. Keberadaan tradisi keagamaan seperti muludan, tahlilan, hingga upacara adat yang sarat nilai spiritual, menunjukkan bahwa masyarakat Jampangkulon mampu menjaga kesinambungan antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.
6. Arsitektur dan Kearifan Lokal
Rumah-rumah tradisional di Jampangkulon pada masa lalu berbentuk rumah panggung dari kayu dan bambu. Meski kini banyak digantikan rumah tembok, pola tata ruang rumah masih memperhatikan nilai kosmologi Sunda: ruang tamu di depan (tepas), ruang keluarga di tengah, dan dapur di belakang
Selain itu, kearifan lokal juga tercermin dari pola bercocok tanam yang selaras dengan alam. Sistem tatanen (pertanian tradisional) yang memperhatikan siklus musim masih dipraktikkan, meskipun kini mulai beradaptasi dengan teknologi modern.
Arsitektur tradisional merupakan salah satu refleksi paling nyata dari sistem nilai, cara hidup, serta kearifan lokal masyarakat. Dalam konteks Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, bentuk rumah, tata ruang desa, hingga bangunan keagamaan tidak hanya berfungsi sebagai tempat tinggal atau pusat aktivitas sosial, tetapi juga menjadi medium pelestarian budaya. Arsitektur di wilayah ini berkembang dari perpaduan antara tradisi Sunda, pengaruh kolonial Belanda, dan akulturasi dengan budaya Islam. Setiap detail arsitektur memuat makna simbolik dan mencerminkan harmoni antara manusia, alam, serta Sang Pencipta
Selain rumah panggung ada juga Leuit atau lumbung padi merupakan salah satu warisan budaya agraris masyarakat Sunda yang masih dapat dijumpai di wilayah Jampangkulon, Sukabumi. Sebagai daerah yang sejak lama mengandalkan sektor pertanian, khususnya sawah dan huma, keberadaan leuit bukan sekadar bangunan penyimpanan hasil panen, melainkan juga simbol kearifan lokal yang mencerminkan pandangan hidup, tata nilai, serta sistem sosial masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat tradisional, leuit adalah lambang kemakmuran, kesabaran, dan pengelolaan hidup. Ia berdiri tegak di tengah perkampungan sebagai penanda kesejahteraan keluarga sekaligus sarana menjaga kesinambungan pangan dalam jangka panjang.
Leuit di Jampangkulon bukan hanya bangunan penyimpan padi, melainkan cermin kearifan lokal masyarakat Sunda. Ia mengajarkan pentingnya kesabaran, gotong royong, ketahanan pangan, dan penghormatan kepada alam. Walaupun kini keberadaannya semakin jarang, makna filosofis leuit tetap relevan untuk dijadikan inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman modern, terutama dalam hal kemandirian pangan dan pelestarian budaya.
Arsitektur dan kearifan lokal di Jampangkulon merupakan cermin perjalanan sejarah, identitas budaya, serta kearifan leluhur dalam membangun harmoni dengan alam. Dari rumah panggung, masjid tradisional, hingga tata ruang desa, semua mengandung nilai filosofis dan spiritual yang penting. Pelestarian arsitektur bukan hanya soal menjaga bangunan fisik, melainkan juga mempertahankan cara pandang hidup masyarakat terhadap lingkungan, sosial, dan keimanan.
Dengan demikian, arsitektur Jampangkulon bukan sekadar warisan material, tetapi juga warisan immaterial berupa nilai, makna, dan identitas yang perlu terus dijaga untuk generasi mendatang.
7. Kuliner Tradisional
Kuliner merupakan salah satu unsur penting dalam kajian kebudayaan karena mencerminkan cara hidup, nilai, serta identitas suatu masyarakat. Di wilayah Jampangkulon, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, kuliner tradisional tidak hanya berfungsi sebagai pemenuh kebutuhan biologis, tetapi juga menyimpan makna sosial, simbolis, dan spiritual. Hidangan-hidangan khas Jampangkulon menjadi bagian dari sistem kebudayaan yang diwariskan secara turun-temurun, erat kaitannya dengan siklus pertanian, adat istiadat, serta ritual keagamaan dan kepercayaan lokal
Sebagian besar kuliner tradisional Jampangkulon berbasis pada hasil bumi setempat, khususnya beras, palawija, umbi-umbian, dan hasil kebun. Hal ini dapat dimengerti karena masyarakat Jampangkulon secara historis menggantungkan hidupnya pada pertanian. Padi menjadi makanan pokok, sementara singkong dan jagung, berperan sebagai pengganti atau pelengkap. Kehadiran sayuran seperti daun singkong, daun pepaya, atau labu siam, serta bumbu rempah sederhana, menunjukkan keselarasan antara kehidupan masyarakat dengan lingkungan alamnya.
Beberapa makanan yang menjadi ciri khas kuliner Jampangkulon antara lain:
- Nasi Liwet Sunda
Dimasak dengan santan, serai, daun salam, dan garam secukupnya, nasi liwet biasanya disajikan dalam kebersamaan, baik di rumah maupun pada acara tertentu. Penyajiannya sering dilengkapi dengan ikan asin, sambal, dan lalapan. Filosofi dari nasi liwet adalah kebersahajaan dan kebersamaan masyarakat pedesaan.
- Timbel
Nasi yang dibungkus dengan daun pisang dan dikukus kembali. Aroma daun pisang yang menyatu dengan nasi menambah cita rasa khas. Timbel sering dipadukan dengan ayam goreng, pepes, dan sambal.
- Nasi Tutug Opak
Hidangan nasi yang dicampur dengan Opak. Tutug Opak menjadi simbol kreativitas masyarakat Sunda dalam mengolah bahan sederhana menjadi makanan lezat dan bergizi.
Jajanan atau camilan khas Jampangkulon mencerminkan kreativitas lokal yang memanfaatkan bahan-bahan sederhana. Salah satunya adalah Opak Jampang dan masih banyak lainnya. Opak merupakan makanan ringan dari beras ketan yang menjadi ciri khas pajampangan.
Jampangkulon menghadapi tantangan berupa masuknya makanan modern dan perubahan gaya hidup masyarakat. Banyak generasi muda yang lebih mengenal fast food dibandingkan makanan lokal. Namun demikian, upaya pelestarian terus dilakukan melalui:
- Festival kuliner daerah.
- Pengenalan makanan tradisional di sekolah
- UMKM kuliner khas Jampangkulon
- Dokumentasi dan penelitian akademis.
Kuliner tradisional Jampangkulon adalah warisan budaya yang kaya makna, mencakup aspek sosial, spiritual, dan identitas lokal. Ia tidak hanya hadir di meja makan, tetapi juga dalam upacara adat, ritual keagamaan, dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Melestarikan kuliner tradisional berarti menjaga identitas budaya serta merawat memori kolektif masyarakat Jampangkulon dari generasi ke generasi.
Kuliner ini bukan hanya soal rasa, tetapi juga cermin kearifan lokal dalam mengolah hasil bumi serta identitas kuliner Sunda Pajampangan.
Hak Cipta © Diarpus Kab. Sukabumi dan/atau Baladaka Surade







